KHOTBAH JUMÁT: UMAT PERTENGAHAN
اَلْحَمْدُ
للهِ ذِي اْلفَضْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَاْلكَرَمِ وَاْلاِمْتِنَانِ، اِصْطَفَى نَبِيِّنَا
مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَمِيْعِ بَنِي اْلإِنْسَانِ، وَأَدَبَّهُ
فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبَهُ فَكَانَ خُلُقُهُ اْلقُرْآنَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ
لَهُ فِي
اْلأُلُوْهِيَةِ وَالرُّبُوْبِيَةِ وَاْلأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ الْحَسَانِ، وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ المََبْعُوْثُ بِمَكاَرِِمِ اْلأَخْلاَقِ وَأَتِمُّ
اْلأَدْياَنَ، صَلِّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ
لَهُمْ بِإِحْسَانٍ. اَمَّا بَعْدُ : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا الله َ وَقُولُوا
قَوْلاًسَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ
يُطِعِ الله َ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
Kaum Muslimin
A’azzakumullah!
Marilah
kita senantiasa berusaha memperteguh iman kita, sehingga kita tidak mudah
tergelincir menghadapi berbagai macam ragam faham atau isme yang bisa
memperlemah iman kita dan dan
mengacaukan kehidupan ukhuwah Islamiyah
kita. Dengan tetap berpegang teguh pada al Qur’an dan as Sunnah dengan
pemahaman yang benar.
Dalam menghadapi banyak hal dalam
kehidupan ini sering kita merespon secara berlebihan dan tidak proporsional. Demikian
pula dalam membaca tels-teks al Qur’an dan as Sunah sering mengambil makna
sempit/tekstual dan tekadang mengambil makna yang terlalu longgar/liberal. Al
Qur’an dan as Sunah telah mengajarkan kepada kita untuk mengambil posisi tengah
dalam menghadapi banyak persoalan dalan kehidupan, sebagaimana firman Allah swt
dalam al Baqarah ayat 143:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى
النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
’Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam), umat yang pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu”. Juga kepada sabda Nabi saw.::
عن مطرف ، قال : « خيرُ
الأمورِ أوساطُها »
شعب الإيمان للبيهقي - (14 / 113)
Dari Mudraf, Nabi bersabda: ”Sebaik-baik
perkara yang pertengahan”. (HR. Baihaki)
Sidang Jumaat yang dimuliakan Allah swt!
Wasath
dari kata “wasatha-yasithu-wasathan“, arti harfiahnya pertengahan.
Dalam tafsir Jalalain wasath diartikan adil dan pilihan. Ar-Raghib
al-Ashfahani dalam Mu`jam Mufradât Alfâzh al-Qur'ân mengatakan bahwa kata
wasath berarti sesuatu yang memiliki dua sisi dengan ukuran yang berimbangan (ma
lahu tharâfani mutasâwiyâni 'l-qadr).
Umatan Wasathan (Umat Pertengahan) itu berarti umat yang mengambil sikap
tengah, tidak berhaluan ke kiri-kirian
dan tidak terlalu ke kanan, bukan ektrim kiri dan tidak pula ektrim kanan,
tidak masuk kelompok liberal dan tidak juga fundamental; berada di garis tengah
antara kedua kutub tersebut.
Sayid Qutub dalam Fidhilalil Qur’an, menjelaskan bahwa yang dimaksud
pertengahan antara lain dalam: tashwir/pandangan hidup (antara spritualisme –
materialisme), pemikiran (antara jumud – modern), hukum (hukum Allah – hukum
manusia), ikatan dam hubunmgan (komunisme – leberalisme), tempat,zaman dll.
Dalam mengelola kehidupan umat pertengahan bersikap adil, tidak
terjebak pada spritualisme, mengutamakan kehidupan rohani dengan
terus-menerus beribadah di Masjid seraya mengabaikan urusan jasmani/duniawi.
Tidak pula materialisme, yaitu seluruh aktifitas hidupnya untuk mengejar
kehidupan materi guna memenuhi kebutuhan indrawi.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ
اللهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأَرْضِ إِنَّ الله َ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ [القصص : 77]
Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Terkait dengan hubungan kepemilikan/modal tidak cendrung kepada kapitalisme,
mengagungkan hak-hak individu dengan upaya menumpuk harta untuk kepentingan
pribadi tanpa peduli kepada orang lain. Dan tidak pula berfaham komunisme,
dimana hak individu terhadap aset telah digantikan kekuasaan negara, sehingga
hak-hak induvidu tidak diakui lagi. Umat pertengahan berdiri di tengah, dalam
arti hak individu dihargai, tetapi pada hak individu ada hak orang lain sebagai
perwujudan hubunggan sesama manuasia.
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ
لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ [الذاريات : 19]
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang
miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian.
Dalam konteks fiqhiyah (pemahaman
keagamaan), tidak semata-mata salafi dan juga bukan anti khalafi,
namun berada pada maqom wasathi. Faham salafi
cendrung memutlakkan pendapat atau
pemahaman ulama tempo dulu: era
shahabat, tabi’in, tabi’ut-tabiin dan entah sampai era mana, belum jelas
batasannnya. Seraya menafikan hasil ijtihad ulama yang datang belakangan
bila pendapat mereka tidak sama atau bahkan belum pernah dikemukakan oleh ulama
terdahulu (salaf).
Sementara kelompok khalafi
lebih berpihak pada pendapat ulama masa kini, terutama dalam hal-hal yang
belum pernah ada atau terjadi pada zaman Islam generasi awal, tanpa perlu
mengklarifikasi subtansi pendapat tersebut dengan nash-nash umum sebagai
bingkai syari’at. Adapun faham wasathi
mengambil pendapat/hasil ijtihad dari kedua jalur tersebut sepanjang
memiliki dasar pijakan nash yang kuat.
Faham salafi lebih kental bernuansa
tekstual, sementara khalafiyah lebih bercirikan konstektual. Wasathiyah berdiri
di antara keduanya, yaitu berkarakter tekstual – konstektual. Salafiyah lebih
bercorak fundamental dan khalafiyah bercoral liberal, sedang wasathiyah bergaya
moderat.
Umat pertengahan yang berwatak adil dan
unggul tidak memutlakkan pendapatnya
pasti benar dan tanpa cacat, juga tidak mudah menjustifikasi pendapat orang
lain salah, bertentangan dengan syari’at, bahkan bid’ah dhalalah. Tapi bersikap
lebih kritis, bijak dan arif demi
kemaslahatan, persatuan dan kesatuan umat Islam.
Karena itulah, ciri umat ini adalah berpikir secara holistis (menyeluruh).
Tidak hanya mengambil satu ayat, melainkan setiap ayat dikaitkan dengan ayat
lain. Tidak hanya itu, juga dikaitkan dengan hadis, serta pandangan-pandangan
para sahabat Rasulullah. Selain itu, kita juga harus bersikap tawazzun
(seimbang), karena segala sesuatu yang seimbang itu baik. Selain itu, kita
harus bersikap i’tidal (lurus).
Kaum Muslimin A’azzakumullah !
Kasus
yang masih sering mengemuka di kalangan umat dan menjadi bahan mudazakarah
di antara mereka adalah masalah bid’ah dan segala aspeknya.
Bid’ah terkadang dijadikan amunisi untuk menyerang kelompok lain, bahkan
sebagai alat takfir antar saudara sesama Muslim.
Untuk
memperoleh gambaran singkat tentang bid’ah dari pendekatan: kelompok salafi,
khalafi dan wasathi dapat dihadirkan paparan sebagai berikut:
Pengertian bid’ah dari segi bahasa dan
istilah di antara ketiga kelompok tersebut di atas nyaris tidak ditemukan
perbedaan yang berarti. Pada umumnya yang dimaksud bid’ah secara lughowi adalah:
membuat sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya. Dan dalam
istilah agama berarti membuat sesuatu cara yang baru dalam ibadah tanpa
ada dasar hukumnya. Sesuai fieman
Allah swt:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَإِذَا
قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ [البقرة : 117]
Allah Pencipta langit
dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah)
Dia mengatakan kepadanya: "Jadilah". Lalu jadilah ia.
Jika kita
telaah perbedaan di antara mereka yang mencolok adalah pada tingkat
implentasinya/penerapannnya.
Pertama, kelompok salaf
menetapkan bahwa semua hal baru dalam agama yang tidak ada contoh
atau tidak pernah dilakukan Rasulullah
dan para shahabat masuk katagori bid’ah, dan semua bid’ah dhalalah. Argumentasi
yang sering mereka kemukakan antara lain sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam:
عَنْ عَائِشَةَ
- رضى الله عنها - قَالَتْ قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم - مَنْ أَحْدَثَ
فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ .
صحيح البخارى - (10 / 17)-
صحيح مسلم - (11 / 402)
"Barangsiapa yang
membuat (sesuatu yang baru) dalam urusan (agama) kita ini, yang bukan darinya
(Al-Qur'an dan Hadits) maka dia adalah tertolak." (HR Bukhari dan
Muslim)
قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم: فَإِنَّ
خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ ، وَشَرَّ الأُ
مُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ (
"Sebaik-baik perkataan
adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah dan
sejelek-jelek perkara (dalam agama) adalah yang diada-adakan. dan setiap bid'ah
(yang diada-adakan yang baru) itu sesat”. (HR Muslim)
Berdasarkan
dalil hadits tersebut di atas mereka (salafiyah) berpendapat: peringatan Mauild
Nabi, Tahun Baru Islam, Isra’-Mi’raj,
mengadakan acara Halal bi Halah, menentukan waktu shalat dengan jadwal waktu
dan jam, mengetahui awal bulan (Ramadhan dan Syawwal) dengan hisab dsb. adalah
bid’ah secara mutlak dan perbuatan sesat, karena Rasulullah dan para shahat
tidak pernah mengerjakan hal itu. Jika hal-hal tersebut memang punya nilai
ibadah kepada Allah swt tentu rasul dan para shahabat pasti mengerjakannnya.
Pertanyaannya
kemudian, bagaimana dengan penulisan al Hadist, sistem pembelajaran dengan
menggunakan tingkat dan kelas, memberi honor/gaji kepada guru/ustadz, yang
zaman nabi dan para shahabat belum pernah dilakukan, apa termasuk bid’ah sesat
juga?
Kedua,
kelompok khalaf. Menurut kelompok ini bahwa tidak semua perkara yang baru dalam
urusan agama tergolong bid’ah yang sesat, karena ada perkara baru dalam urusan
agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’nya).
Mereka mengatakan bid’ah itu ada yang baik dan ada yang jelek, sebagaimana pendapat
Imam Syafi’i:
اَلْبِدْعَةُ
ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ
وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
“Bid’ah ada dua, bid’ah
terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang
terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”. (Ushulul
Iman Juz I, hal 166) Juga pendapat Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan
shalat Tarawih berjama’ah yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau
berkata :نِعْمَتِ
اْلبِدْعَةُ هذِهِ “Sebagus bid’ah itu ialah ini”.
Disamping
itu, adanya bid’ah hasanah dan sayyiah mereka berhujjah dengan hadits Nabi SAW. sebagai berikut:
مَنْ
سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ
شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ
وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. صحيح مسلم - (2 / 704)
“Barang siapa yang mengada-adakan satu
cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut
mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan
barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat
dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi
dosa-dosa mereka sedikit pun”.
Dengan penjelasan
bid’ah seperti di atas, maka memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan
untuk mayyit, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat,
tapi bid’ah hasanah, karena tidak bertentangan dengan nash syariah. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan
di pasar-pasar malam, main judi dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak
baik.
Ketiga, Kelompok tengah mengambil posisi
di antara keduanya. Muhammadiyah membagi urusan agama (ibadah) menjadi dua
bagian: ibadah mahdhah (khusus) dan ibadah ghoiru mahdhah (ibadah umum) atau
disebut juga muamalat duniawiat.
Dalam urusan ibadah mahdhah Muh. berpegang pada
hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim tersebut di atas, yakni “barangsiapa
yang mengada-adakan dalam urusan ...dst. Yang dimaksud dengan “mengada-adakan
dalam urusan kami” ialah mengadakan sesuatu dengan kemauan sendiri dalam
hal aqidah dan ibadah mahdhah, baik secara keseluruhan ataupun sebagian dengan cara menambah yang sudah
baku.Seperti menambah lafadz adzan dengan bacaan shalawat, melafadzkan niat
shalat dsb.
Adapun kedudukan Hadis yang berbunyi “man sanna
fil-Islam sunnatan hasanatan ... dan seterusnya” difahami dalam konteks ibadah
umum (mu’amalah duniawiat) bukan dalam kontek ibadah mahdhah. Seperti:
menetapkan sistem organesasi, membangun sekolah dengan sistem tingkat dan kelas
serta bukti akhir studi diberi ijazah dsb. bukan perbuatan bid’ah, tapi sunah
(perbuatan) yang baik.
Dengan demikian Muh membatasi bid’ah hanya ada dalam aqidah dan ibadah
mahdhah saja, di luar kedua hal itu bukan
bid’ah namanya. Maka di Muh. tidak dikenal bid’ah hasanah yang ada semua
bid’ah itu adalah sesat.
Muhammadiyah berpendirian bahwa membuat sesuatu yang baru dalam
agama/ibadah mahdhah adalah haram hukumnya, karena hukum asal dalam ibadah
mahdhah adalah tauqif (terbatas
pada apa yang diajarkan oleh syari'at).
أَنَّ
الأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ، وَلَمْ تَصِحَّ الزِّيَادَةُ عَلَى ذَلِكَ - شرح البهجة الوردية - (4 / 150)
Asal ibadah
itu penetapan, tidak dibenarkan adanya tambahan. Dalam ibadah mahdhah otoritas berada pada Allah dan
rasul-Nya, sehingga setiap ibadah yang kita lakukan harus berdasarkan nash.
Jika tidak ada nash maka tertolak. Sementara
membuat sesuatu yang baru dalam hal keduniaan/muamalat duniawiat boleh-boleh
saja, karena hukum asal dalam keduniaan
itu adalah mubah
الأَصْلُ فِي
الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ .- الأشباه والنظائر - (1
/ 107)
Asal masalah keduniaan itu boleh kecuali ada dalil
yang melarangnya.
Yang sering menjadi persoalan adalah batasan antara urusan dunia dan
agama/ibadah mahdhah. Batasan yang jelas mengenai urusan dunia telah
dirumuskan para ulama yang tergabung dalam Majlis Tarjih Muhammadiyah, yaitu:
َاْلمُرَادُبِاَمْرِالدُّنْياَ
فىِ قَوْلِهِ صلعم: اَنْتُمْ اَعْلَمُ باِمْرِدُنْياَكُمْ –
هُوَاْلأُُمُوْرُاَلَّتىِ لمَ ْيُبْعَثْ ِلاَجْلِهاَ اْلأَنْبِياَءُ
Yang dimaksud urusan dunia sebagaimana sabdanya
saw,” Kamu lebih tahu tentang urusan duniamu”, adalah semua urusan yang tidak
menjadi tugas diutusnya para nabi.
Bersandar
cara pandang tersebut di atas, maka kelompok tengah dalam menentukan apakah sesuatu perkara itu
bid’ah atau tidak harus dilihat dari subtansinya (motivasi dan pelaksaannya). Bila
perbuatan yang diada-adakan itu dianggap syariat Islam dengan tata cara yang
standar dan baku
layaknya ibadah mahdlah, tidak boleh kurang dan lebih, maka masuk wilayah bid’ah. Tapi jika sesuatu yang
baru itu di luar ibadah mahdhah dan hanya sebagai media dakwah, tidak diyakini
sesuatu yang baku
dengan ritual khusus, maka tidak masuk area bid’ah.
Contoh, peringatan maulid
Nabi. Manakala hanya sebagai wasilah/media untuk menjelaskan sirah nabawiyah
melalu ceramah umum atau khusus, bukan masuk bid’ah. Namun bila disebut
perayaan dengan kaifiyah tertentu: membaca berzanji, dziba’ dengan shalawat
qiyam dan julusnya, percaya roh nabi datang dsb, dan diyakini ritualnya harus
seperti itu, maka masuk perbuatan bid’ah.
Kelompok
salafi dalam memandang sesuatu yang baru yang terkait dengan
urusan agama, tanpa dipilah dan dipilih terlebih dahulu dengan serta merta dihukumi
barang bid’ah. Sehingga banyak sekali praktek keagamaan di kalangan umat yag
didakwa bid’ah dan sesat hanya karena zaman nabi belum pernah ada. Sementara
kelompok khalafi memahami bahwa sesuatu yang baru bila baik dan tidak
bertentangan dengan syariat sah-sah saja diamalkan, jikapun disebut bid’ah
masuk bid’ah hasanah. Nyaris di kalangan mereka tidak ada bi’ah yang sesat.
Kelompok wasathi melihat sesuatu yang baru
secara lebih kritis dan diteil. Jika yang baru itu dalam urusan ibadah mahdhah
maka masuk barang bid’ah, namun bila inovasi baru itu dalam urusan ibadah umum
maka bukan barang bid’ah, baleh jadi masuk sunatan hasanatan (perbuatan yang
baik).
Semoga Allah senantiasa membimbing
kita ke jalan yang lurus. Jalan orang yang telah diberi nikamt, bukan jalan
orang yang dimurkai lagi sesat. Amin!
باَرَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ
فىِ اْلقُرْانِ اْلكَرِيْمِ وَنَفَعَنِى وَاِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنَ اْلأَيَاتِ
وَالذِّكْرِاْلحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّى وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ اِنَّهُ
هُوَالسَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْوَارْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ
٭
الخُطْبَةُ الثَّانِيَةُ
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالمَِيْنَ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ
عَلَى اُمُوْرِالدُّ نْيَاوَالدِّيْنِ٭ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ
لاَ شَرِيْكَ لَهُ اْلمَلِكُ اْلحَقُّ اْلمُبِيْنُ٭ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ صَادِقُ اْلوَعْدِ اْلاَمِيْنُ ٭ صَلاَةًوَسَلاَمًادَائِمَيْنِ
مُتَلاَزِمَيْنِ عَلَى اَشْرَفِ اْلاَنْبِيَاءِ وَاْلمُرْسَلِيْنَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ٭
اَمَّابَعْدُ فَيَاعِبَادَاللهِ اُوصِيْكُمْ وَاِيَّايَ
بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ٭ فَقَالَ تَعَالَى {
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا } اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ٭ اللَّهُمَّ اغْفِرْلِلْمُؤْمِنِيْنَ
وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِماَتِ اْلأََحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ٭ رَبَّنَا ظَلَمْنَا
أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ
الْخَاسِرِينَ٭ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا
إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا
حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لاطَاقَةَ
لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا
فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ٭ رَبَّنَا
لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ
لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ٭ رَبَّنَا
إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ
فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا
وَتَوَفَّنَا مَعَ الأَبْرَار٭ رَبَّنَا
وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَ لاَ
تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لاَ
تُخْلِفُ الْمِيعَادَ٭ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ
أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا٭ رَبَّنَا
اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ و لاَ تَجْعَلْ
فِي قُلُوبِنَا غِلاً لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ٭ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي
الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ٭ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ
عَمَّا يَصِفُونَ٭ وَسَلامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ٭ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ٭
عِبَادَ اللهِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ
وَالإِحْسَانِ وَإِيْتاَءِ ذِيْ اْلقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاَءِ وَاْلمُنْكَرِ
وَاْلبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، فَاذْكُرُوْا اللهَ العَظِيْمَ
يَذْكُرُكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ٭
Posting Komentar untuk "KHOTBAH JUMÁT: UMAT PERTENGAHAN"