NIKAH SIRI DAN PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
Terminologi nikah sirri (nikah yang
dirahasiakan) telah dikenal di kalangan
para ulama, paling tidak sejak masa Imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri
yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada
masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri, yaitu pernikahan
yang memenuhi syarat dan rukunnya
menurut syari'at, namun tidak dipublikasikan atau tidak ada i'lanun-nikah dalam
bentuk walimatul-'ursy
atau dalam bentuk yang lain. Adapun nikah
sirri yang dikenal oleh masyarakat Islam
Nikah
sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah
diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan disusul
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksanaanya.
Bila kita cermati, undang-undang dan aturan pelaksanaanya
tersebut di atas memiliki tiga regim hukum, yaitu: regim hukum perdata, hukum
pidana dan administrasi negara.
1. Dimaksud regim
hukum perdata adalah aspek aturan hukum keperdataan dalam undang-undang
perkawinan, yang meliputi antara lain: syarat-syarat perkawinan, larangan
perkawinan, perjanjian perkawinan dsb.
2. Regim hukum
pidana adalah aspek aturan hukum yang menyangkut tindak pidana dan ancaman
hukumannya, sebagaimana yang diatur dalam pasal 61 UU No. 01 Tahun 1974 dan
pasal 45 PP No. 09 Tahun 1975.
3. Dan regim hukum
administrasi negara, yaitu aspek aturan hukum yang berkaitan dengan pencatatan
dan pendaftaran oleh pejabat administrasi/tata usaha negara.
Aspek hukum
keperdataan (muamalah) dalam undang-undang perkawinan secara subtansial
dikembalikan kepada ajaran agama masing-masing, atau setidak-tidaknya rumusan
formalnya tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini nampak jelas
jika kita baca pasal 2 ayat 1 yang
berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu”, dan atau pasal 6 ayat 6
yang berbunyi: “Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain”.
Berdasarkan
logika hukum dari pasal 2 ayat 1 tersebut dapat ditarik kaidah hukum
bahwa sah tidaknya perkawinan ditentukan oleh ajaran agama, bukun oleh
undang-undang. Yang memiliki otoritas menentukan sah tidaknya perkawinan adalah
Syari’ (pembuat syari’at), bukan manusia atau kelompok manusia, baik melalui legislasi ataupun yurisprudensi.
Dengan demikian perkawinan yang sah menurut agama maka sah menurut
peraturan perundang-undangan. Tidak ada
dikhotomi antara hukum agama dan hukum negara.
Hanya saja
perkawinan yang tidak dilaksanakan di hadapan pejabat dan atau tidak dicatat (di
bawah tangan) tidak memenuhi aspek hukum administrasi negara sehingga tidak
memiliki dokumen resmi dari negara (akte nikah) dan berimplikasi tidak mempunyai kekuatan hukum. Kaidah
hukum ini merujuk antara lain pada pasal 2 ayat 2, yang berbunyi: “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Kekuatan hukum artinya kekuatan
pembuktian secara legal formal dan kekuatan mengikat kepada pihak-pihak yang
berwenang. Perkawinan yang tidak memiliki kekuatan hukum berdampak yuridis terhadap hak-hak pelayanan publik oleh instansi
yang berwenang bagi pelakunya. Mereka
tidak memperoleh perlindungan dan
pelayanan hukum oleh instansi yang berwenang sebagaimana mestinya. Perkawinan mereka tidak diakui dalam daftar kependudukan, tidak
dapat memperoleh akte kelahiran bagi anak-anak mereka dan seterusnya. Dengan
kata lain, pernikahan sirri banyak membawa madharat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Karena
perkawinan sirri banyak dampak buruknya maka peraturan perundang-undangan
menggariskan bahwa setiap perkawinan harus dilakukan di hadapan pejabat dan
didaftarkan dalam register yang disediakan untuk itu. Keharusan dilaksanakan di
hadapan pejabat dan dicatat dikandung maksud agar tercipta ketertiban dan kepastian hukum.
Lalu, apa dasar syar’inya
pembuat undang-undang mengharuskan pencacatan sebuah perkawinan, padahal pada masa Rasulullah saw maupun
sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan tersebut?
Menurut para pakar hukum Islam,
sekurang-kurangnya ada dua alasan hukum yang dijadikan pijakan perintah
pendaftaran/pencatatan nikah. Pertama, berdasarkan qiyas (analogi) dan
kedua atas dasar maslahah mursalah (utility).
Keharusan
mencatatkan perkawinan dan pembuatan akte perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan
kepada pencatatan dalam persoalan
mudayanah (utang-piutang) yang dalam situasi tertentu
diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat
al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ…
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .
Akad
nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti
disebutkan dalam al-Qur'an
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى
بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Artinya: Bagaimana kamu
akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Apabila akad hutang piutang atau
hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu
luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Maslahah mursalah adalah kemaslahatan
yang tidak dianjurkan oleh syari’at dan juga tidak dilarang oleh syari’at,
semata-mata hadir atas dasar kebutuhan masyarakat.
Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu
prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:
تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ
عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ. الأشباه والنظائر - (1 / 220)
Artinya: Suatu tindakan
pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya. (Al Isybah wa Nadlair, Juz I hal,
220)
Atas dasar kemaslahatan, di beberapa
negara muslim, termasuk di
Lahirnya teori kemaslahatan dalam
rangka mengantisipasi perubahan dan tuntutan zaman, agar hukum Islam tetap
sejalan dengan maqosidus syar’inya. Perubahan terhadap sesuatu, termasuk
institusi perkawinan dengan dibuatnya undang-undang atau peraturan lainnya,
adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang
salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan
kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاَ يُنْكَرُ
تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ
اْلأَزْمَانِ - مجلة الأحكام العدلية - (1 / 20)
Artinya:
Tidak diingkari perubahan
hukum karena perubahan zaman.( Majalatul Ahkam Al Adliyah, Juz I, hal 30)
Ibnu
al-Qayyim menyatakan :
Artinya:
Perubahan fatwa dan
perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat
[I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 149].
Pencatatan
perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga
mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan
rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan
perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan
yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya
pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku
jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini
dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan
perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9
Tahun 1975.
Dengan demikian mencatatkan
perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam
kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas
melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh
pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan
merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak.
Atas dasar pertimbangan di atas, maka bagi setiap warga negara,
khususnya umat Islam, wajib hukumnya melaksanakan perkawinan di hadapan Pegawai
Pencatat Nikah dan Pegawai Pencatat Nikah harus mencatat perkawinan yang
dilaksanakannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam daftar
yang disediakan untuk itu.
Posting Komentar untuk "NIKAH SIRI DAN PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF"