HARI IBU: SEMANGAT DAN MAKNANYA
A. Pendahuluan
azahri.com ~ Sejarah lahirnya Hari Ibu menggambarkan
semangat perjuangan para ibu/wanita yang salah satunya adalah untuk meraih
kesetaraan relasi pria wanita atau dalam istilah sekarang kesetaraan gender. Hal
demikian tercermin dalam jargonnya, “Merdeka melaksanakan dharma”. Kala itu, wanita
dianggap manusia kelas dua, konco wingking, suargo nunut neroko katut, maka
untuk meraih persamaan gender dibutuhkan semangat juang yang tinggi dalam bingkai
persatuan dan kesatuan.
Para
aktivis wanita yang terlibat Kongres Pemuda, 28 Oktober 1928 memprakarsai lahirnya Kongres Perempuan Indonesia pada 22 –
25 Desember 1928 di Yokyakarta. Kongres
itu dihadiri oleh 30 organisasi perempuan dari 12 kota di wilayah Jawa dan
Sumatera. Salah satu hasil kongres perempuan adalah dibentuknya Perikatan
Perkoempoelan Perempuan Indonesia (PPPI) yang kemudian tahun 1946 menjadi
KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) sampai sekarang.
Pada
Kongres Perempuan Indonesia III ditetapkan bahwa tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Selanjutnya Hari Ibu
mendapat legitimasi negara melalui Dekrit Presiden No. 315 Tahun 1959. Sejak
itu Hari Ibu diperingati secara nasional
setiap tanggal 22 Desember dan tidak termasuk hari libur.
Semangat
yang mengiringi lahirnya Hari Ibu, isu utamanya adalah tuntutan kesetaraan gender, di samping
agenda lain berkaitan dengan pengasuhan anak dsb. Wanita harus pula diberi akses yang sama
dengan pria di ruang publik. Wanita tidak hanya berkiprah di ruang domestik
(dapur, sumur dan Kasur). Wanita harus
ambil bagian dalam percaturan politik, mengelola negara dsb. Isu gender ini masih menggema sampai hari ini.
Mengapa isu persamaan gender masih menjadi topik hangat hingga saat ini.
Ada asumsi bahwa doktrin Islam itu bias
gender, Islam itu membatasi aktifitas dan hak kaum wanita dst, sementara Islam
sebagai agama mayoritas, benarkah demikian?
Maka dalam rangka memaknai Hari Ibu, kiranya dapat kita lihat posisi pria
- wanita dalam konsep Islam. Bagaimana
Islam memposisikan pria - wanita (ibu, istri dan anak perempuan) dalam berbagai
aspek kehidupan.
B.
Posisi Pria - Wanita
Manusia diciptakan oleh Allah Swt memiliki dua tugas pokok dan fungsi
(tupoksi), yakni sebagai hamba dan
khalifah-Nya. Sebagai hamba bertugas mengabdi dan beribadah hanya kepada
Allah Swt semata. Sepanjang hidupnya
dipersembahkan kepada Allah Swt untuk mendapat rida-Nya. Sejalan dengan
firman-Nya:وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adzariat: 56).
Sebagai khalifah manusia bertugas dan berfungsi memakmurkan bumi untuk
kesejahteraan bersama. Bertugas menyampaikan dan mendakwahkan risalah Nabi-Nya
sehingga dinul Islam berdiri tegak di persada bumi. Allah Swt berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌۭ فِى ٱلْأَرْضِ
خَلِيفَة ۖ ….
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” …..
Islam meletakkan posisi pria dan wanita sesuai tupoksinya masing-masing.
Sebagai hamba posisi pria dan wanita diletakkan dalam bingkai kesetaraan.
Kesetaraan dalam membangun kedekatan dengan Sang Khalik, kesetaraan dalam
mendapat pahala dan dosa. Sementara dalam aspek sebagai khalifah relasi
hubungan pria dan wanita didudukkan pada posisi yang berbeda satu dengan
lainnya.
Islam mendudukkan pria dan wanita, baik sebagai hamba maupun sebagai
khalifah bertujuan menghadirkan keadilan. Keadilan merupakan nilai utama dalam
syariat Islam, karena adil merupakan sifat Allah Swt yang mesti diwujudkan oleh setiap manusia dalam menjalani kehidupan
sosialnya.
Adil makna simpelnya adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya atau
memberikan hak kepada yang berhak. Pada tataran implementasi dikenal keadilan komutatif
dan keadilan distributif.
Keadilan komutatif dimaksudkan memberikan hak yang sama rata kepada semua orang
tanpa membedakan jenis kelamin, ras, suku, status sosial dsb, sementara keadilan distributif memberikan hak
kepada seseorang dengan cara yang
berbeda, seimbang antara konstribusi (tugas dan tanggungjawab) dengan
konpensasi (prestasi yang diterima).
Islam memposisikan laki-laki dan perempuan sebagai hamba dalam timbangan
keadilan komutatif ( memiliki hak dan kewajiban yang sama). Sama dalam memenuhi
perintah Allah Swt dan sama pula dalam menjahui langan-Nya, serta sama dalam
mendapat pahala dan dosa. Implementasi keadilan komutatif sebagai hamba
tergambar dalam teks Al Qur”an antara lain sebagai berikut:
1. Kesetaraan pada
Penciptaan
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ
ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ .
“Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal”.(QS.
Al Hujurãt [49]: 13)
Siapa
saja, tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, golongan, konglomerat atau
orang melarat, pejabat maupun rakyat
yang bertakwa akan memperoleh derajat yang tinggi di sisi-Nya.
2. Kesetaraan dalam Melaksanakan Kewajiban Agama
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ
أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ .
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki
dan perempuan, sebagian mereka menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma`ruf, mencegah dari
yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. At Taubah [9]: 71)
Laki-laki dan perempuan harus bahu-membahu dalam melaksanakan amar makruf nahi mungkar dan berdiri sejajar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya.
3. Kesetaraan dalam Menerima Reward dan Panishment (Pahala dan Dosa)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ
بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ .
“Barangsiapa yang mengerjakan amal
saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan”. (QS. An
Nahl [16]: 97)
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ .
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”.
(QS. Al Maidah [5]: 38).
Gender (jenis kelamin) tidak menjadi pembeda
seseorang dalam menerima balasan amalnya
di dunia maupun di akhirat. Balasan amal baik beupa kehidupan yang
sejahtera dan balasan maksiat dengan
kihidupan yang sengsara.
Manusia pada posisinya sebagai khalifah dalam
implementasinya menggunakan pendekatan keadilan distributif (konpensasi
sebanding dengan konstribusi) sesuai peran kodrati sebagai anugerah dari Sang
Pencipta. Bukan supremasi laki-laki atas perempuan, namun pembagian tugas dan
peran kekhalifahan.
1. Kepemimpinan Keluarga
dan Masyarakat
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ
أَمْوَالِهِمْ…
“Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”… (QS. An Nisa’ [4]:
34)
Menurut Ibnu Katsir: laki- laki sebagai pemimpin, pembimbing,
kepala keluarga bagi wanita (istri) untuk menjaga agar kehidupan keluarga,
kehidupan kolektif berjalan sesuai dengan ketentuan syariat.
Hal demikian karena laki-laki memiliki kelebihan dibanding wanita,
maka Allah swt. mengkhususkan para nabi
dan rasul dari kaum laki-laki. Bahkan secara kasuistik ketika Nabi
Muhammad saw mendengar kabar bahwa pengganti Kisra Persi yang pernah merobek
surat beliau adalah wanita, Nabi Saw bersada:
لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللهِ - صلى الله
عليه وسلم - أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى
قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا
أَمْرَهُمُ امْرَأَةً.
“Tidak akan sukses
sebuah kaum/negara yang menyerahkan urusannya (raja/presiden) kepada wanita.” (Saheh
Bukhari No.4425, juz 14, hal 365)
2. Pembagian Waris
Dalam hukum waris Islam ada prinsip jika laki-laki dan perempuan
dalam kedudukan sama, maka bagian
laki-laki dua kali bagian perempuan. Ketentuan ini jelas dan telah menjadi
ijmak para ulama sejak zaman dahulu sampai sekarang. Allah swt berfirman:
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ...
”Allah mensyariatkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan;…”. (Qs. An Nisa’ [4]: 11)
Nilai keadilan yang dihadirkan di sini karena laki-laki mempunyai kewajiban nafkah kepada istri, ibu, saudara perempuan dll., sementara perempuan tidak punya kewajiban memberi nafkah dan harta perempuan menjadi miliknya sendiri, maka harus dibedakan bagian laki-laki dan perempuan karena perbedaan kewajiban.
3.
Nilai Kesaksian
Dalam kasus tertentu nilai kesaksian secara kuantitas antara
laki-laki dan perempuan dibedakan, satu laki-laki disetarakan dengan dua
perempuan. Firman Allah Swt:
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ
رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ
تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى..
“….Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua
orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. ….” .(QS. Al Baqarah [2]: 282)
Hal ini terkait kiprah laki-laki dan perempuan yang secara kodrati
berbeda, laki-laki lebih banyak di ruang publik sementara perempuan di ruang
domestik, sehingga kuantitas nilai kesaksian dibedakan.
4. Pemuliaan
Wanita
Bentuk lain keadilan
distributif (peran kekhalifaan) diberikan kepada kaum wanita sebagai pemuliaan
atau penghormatan atas jasa-jasanya untuk menghadirkan generasi penerus yang
saleh dan salehah . Rasulullah saw bersabada:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ
بِحُسْنِ صَحَابَتِى قَالَ « أُمُّكَ ». قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « ثُمَّ أُمُّكَ
». قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « ثُمَّ أُمُّكَ ». قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « ثُمَّ
أَبُوكَ »
“Dari Abu Hurairah, ia
berkata telah datang seorang laki-laki kepada nabi dan dia bertanya, “ Siapa
manusia yang lebih berhak saya hormati, Nabi menjawab, ibumu. Lalu siapa lagi,
ibumu. Siapa lagi, ibumu. Dan siapa lagi,
bapakmu. Tiga kali kepada ibu (wanita), baru yang ke empat kepada bapak
(laki-laki)” .(Sahih Muslim No.6664 juz 8, hal 2)
Setelah disebut tiga kali untuk ibu, keempat baru kepada ayah. Ada
yang menganalisa melalui pendekatan hikmah syariat bahwa karena ibu yang
mengandung, melahirkan dan menyusui, sementara ayah hanya satu macam,
menafkahi. Inilah cara Islam menghormati ibu (wanita).
اَلْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ
الأُمَّهَاتِ ( عن ابن عباس)
“Surga berada dibawah telapak kaki ibu” (Jamiul ahadits, juz 12,
hal.80). Meskipun lafadz hadits tersebut di atas oleh para ahli hadits (Imam
Syuyuti, Albani dll) dikatakan hadist dhoif, namun diperkuat dengan hadits yang
lain, yaitu:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ
السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ الله ِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ
أَسْتَشِيرُكَ فَقَالَ هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْزَمْهَا
فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا.
“Dari Mu’awiyah bin
Jahimah Assalami, bahwa Jahimah datang kepada Nabi saw dan bertanya: Wahai
Rasulullah aku ingin berperang dan aku
telah datang minta bergabung (dalam pasukan), maka nabi bersabda: apakah
kamu masih punya ibu, ia menjawab:Ya! Nabi bersabda: diamlah (berbaktilah) kepadanya karena surga berada di bawah kedua
kakinya”. (Sunan Nasa’i, juz 6, hal 317)
5. Penjagaan
Wanita
Disamping wanita diberi
penghormatan, Dinul Islam yang agung juga memberi penjagaan (protection) sebagai konsekuensi atas
kehormatannya. Lazimnya orang-orang terhormat, seperti raja, ratu, presiden
diberi penjagaan yang memadai.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُولَى…
“...dan hendaklah kamu
tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu …” (QS. Al Ahzab [33]: 33)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ
لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ
جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ
غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah
kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:
‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.
Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”. (QS. Al Ahzab [33]: 59)
Wal hasil, relasi pria – wanita dalam perspektif Islam bukan mengedepankan
kesetaraan (المساواه ), namun yang
dibawa Islam adalah (العداله) keadilan. Pria dan wanita tetap beda dan tidak perlu disamakan.
فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ
إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ
كَالْأُنْثَى وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ
وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ .
“Maka tatkala isteri
Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku
melahirkannya seorang anak perempuan’; dan Allah lebih mengetahui apa yang
dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.
Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya
serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang
terkutuk."(QS Ali Imran [3]:36)
Kalau dibaca sepintas seakan dalam Islam ada diskriminasi antara pria
dan wanita, namun jika dielaborasi
secara luas dalam satu sistem kehidupan berdasarkan peran masing-masing, maka menjadi keniscayaan jika pria i dan wanita mendapat prestasi yang berbeda.
Implementasi Hari Ibu adalah memberi keadilan dalam semua aspek
kehidupan kepada ibu, istri dan semua wanita, bukan sekedar kesetaraan yang
boleh jadi menjerumuskan wanita dalam kesengsaraan dunia akhirat.
Mantap Pak Ketua, tulisanx enak n renyah tuk baca.
BalasHapusterimakasih atensinya
Hapus