Hukum Istri Minta Cerai
Sidang Perceraian di PA. Trenggalek
azahri.com ~ Pernikahan
adalah ikatan lahir batin, suci dan sakral. Dalam Al qur’an disebut “Mitsaqon
gholidzo” (ikatan yang kuat), kuat kerena diikat oleh kalimat dan amanah Allah
swt. Dua kalimat, ijab dan kabul yang
merupakan ungkapan kerelaan dari kedua belah pihak, pihak wali perempuan dan
mempelai laki-laki.
Kalimat
yang memberikan perobahan besar: yang haram menjadi halal, maksiat menjadi
ibadah, kebebasan menjadi tanggung jawab, nafsu liar menjadi nafsu yang penuh
rahmat. Firman Allah:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا [النساء : 21]
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Pernikahan
yang sakral itu harus kita pelihara kelestarianya dengan bekerjasama, saling
membantu, saling melengkapi kekurangan masing-masing, saling berbagi suka dan
duka. Jika sebelum menikah bekerja/berkarier untuk sukses masing-masing maka
setelah menikah bekerja dan berkarya demi kesuksesan bersama. “ Ringan sama
dijinjing, berat sama dipikul”.
Jika
suami istri sudah berusaha maksimal memelihara keutuhan rumah tangga, namun ada
suatu alasan yang kuat untuk mengakhiri kebersamaan, maka Islam membuka pintu
percerian. Tapi pintu dimaksud adalah pintu emergency (darurat), yaitu
pintu yang dapat dilalui bila pintu-pintu yang lain tak mungkin dilewati.
Dalam
hukum Islam perceraian itu halal, namun
dibenci oleh Allah swt, sebagaimana sabda Nabi SAW:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: أَبْغَضُ
الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ.
“Dari sahabat Ibnu Umur, dari
Nabi SAW, belia bersabda, perbuatan halal yang dibenci Allah SWT adalah talak”
(HR. Abu Daud dan Ibnu
Majah).
Sejalan dengan
hukum Islam, hukum positip, dalam hal ini Undang_undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan dan peraturunan tuurunannya memiliki asas mempersulit
perceraian. Perceraian tidak dapat dilakukan secara serampangan. Sebaliknya
harus dilakukan berdasarakan peraturan perundang-undangan agar terwujud
kemaslahatan dan ketertiban di masyarakat. Aturan mainnya perceraian harus
dilaksanakan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan berusaha merukunkan
dan tidak berhasil serta harus cukup alasan
Perceraian sebenarnya termasuk wilayah
hukum privat, namun persoalan cerai juga menyangkut kepentingan yang kebih luas,
yakni ketentraman rumah tangga, nasib anak-anak dan status seseorang, apakah suatu pasangan telah
berpisah atau masih dalam ikatan perkawinan.
Dalam fikih klasik suami
diberi hak yang luas untuk menjatuhkan talak, sehingga kapan dan di manapun ia
mengucapkannya, talak itu jatuh seketika. Sementara perceraian atas kemauan istri instrumenya sangat terbatas, yakni
khuluk (talak tebus) atau fasakh. Bahkan Rasul
SAW memberikan
warning:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه
وسلم- أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ
زَوْجَهَا طَلاَقًا فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ
الْجَنَّةِ.
“Siapa
saja istri yang minta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram
baginya aroma surga”.(Sunan Abu Daud: 6/469)
Doktrin fikih klasik tentang perceraian tersebut
di atas, dengan perubahan zaman juga mengalami pembaruan oleh pakar hukum Islam
kontemporer. Dipandang dari
sudut pemeliharaan kepentingan keluarga, kepastian hukum dan ketertiban
masyarakat hak talak yang dimonopoli suami tidak
mewujudkan maslahat bahkan banyak merugikan terutama bagi kaum wanita (isteri).
Oleh karena itu demi terwujudnya kemaslahatan, maka perceraian harus diproses melalui pengadilan. Jadi di sini memang ada perubahan hukum, yaitu dari kebolehan suami menjatuhkan talak kapan dan di manapun menjadi keharusan menjatuhkannya di depan sidang pengadilan.
Dalam peraturan perundang-undangan perceraian dapat terjadi karena permohonan suami kepada Pengadilan untuk menyaksikan ikrar talak yang disebut cerai talak atau karena gugatan isteri yang disebut cerai gugat. Dalam praktek sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama hak suami maupun istri terkait dengan perceraian benar-benar setara.
Setelah diberi hak yang sama oleh undang-undang justru
kasus perceraian di
pengadilan lebih banyak diajukan pihak istri daripada pihak suami, Pertanyaan
besarnya, mengapa perceraian yang dibenci oleh Allah swt. untuk saat ini,
khususnya di Indonesia tidak lagi ditakuti oleh kebanyakan orang Islam,
terutama kaum Hawa?
Terbukti dari tahun ke tahun perceraian di Indonesia mengalami booming. Dan tidak sedikit dari
mereka yang mengakhiri bahtera rumah tangga hanya karena hal-hal yang sepele,
yang seharusnya tidak perlu terjadi bila mereka mengindahkan rambu-rambu yang
ditentukan Allah swt. dan
Rasul-Nya.
Gugatan cerai di pengadilan, baik yang diajukan
suami atau istri, jika menurut majelis hakim rumah tangga mereka tidak lagi mendatangkan kemaslahatan, tapi
justru hanya akan memberikan penderitaan lahir-batin baik bagi suami maupun istri, maka perceraian dapat menjadi jalan keluar dari
kemelut rumah tangga tersebut.
Pada kasus cerai gugat pengadilan sering
mengemukakan pendapat pakar hukum
Islam, Sayid Sabiq, dalam kitab Fiqh
Sunnah Juz II halaman 290 yang berbunyi sebagai berikut:
فإذا ثبتت دعواها لدى القاضي ببينة الزوجة، أو اعتراف الزوج، وكان الايذاء
مما لا يطاق معه دوام العشرة بين أمثالهما وعجز القاضي عن الاصلاح بينهما طلقها طلقة
بائنة.
Artinya: Jika
dalil gugatan istri terbukti
di depan persidangan baik dengan bukti yang diajukan oleh istri atau pengakuan
suami, dan konflik rumah tangga telah parah sedemikian rupa sehingga tidak ada
harapan untuk rukun kembali dan hakim juga tidak mampu mendamaikan kedua belah
pihak, maka hakim harus menjatuhkan talak bain suami terhadap istrinya;
Wal hasil, hukum istri minta cerai, baik dipandang dari sudut hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan adalah boleh sepanjang cukup alasan. Pada hukum positip alasan dimaksud sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Thun 1975 jo Kompilasi Hukum Islam Pasal 119.
Posting Komentar untuk "Hukum Istri Minta Cerai"