HUKUM MENIKAH BEDA AGAMA
Agar
ikatan perkawinan tidak mudah lepas, maka sebelum menuju ke pelaminan colon
mempelai harus menyerap informasi sebanyak mungkin dari sumber-sumber yang valid dan
terpercaya berkaitan dengan calon pendamping hidupnya.
Dalam tradisi maupun panduan agama, sebelum prosesi ijab kabul dilaksanakan ada instumen ta’aruf (perkenalan), dilanjut peminangan/lamaran sampai berakhir dengan terwujudnya akad perkawinan.
Secara umum, baik berdasarkan
ketentuan adat maupun norma agama ada kriteria tertentu bagi calon mempelai pria maupun wanita yang harus
dipenuhi.
Masyarakat Jawa
dalam memilih jodoh harus melihat: bobot, bibit
dan bebet. Bobot maksudnya kualitas sang calon lahir batin, tidak cacat,
beriman, ahli ibadah, berakhlak mulia, bibit artinya asal usul atau nasab dan
bebet dikandung maksud cara berpakaian atau penampilan.
Dari Islam ada empat hal yang lazim dijadikan
pertimbangan dalam memilih
jodoh. Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا
وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ
يَدَاكَ .
“Seorang wanita dinikahi karena empat
hal. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka hendaklah
kamu pilih wanita yang taat beragama niscaya kamu akan
beruntung.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An Nasa-i, Ibnu Majah, Ahmad).
Yang dimaksud agamanya dalam hadis
ini adalah agama Islam. Tidak hanya sekedar beragama Islam, namun harus dilihat
kualitas keberagamaannya, meliputi: akidah, ibadah dan akhlaknya dalam
kehidupan sehari-hari.
Pada
awal melangkah sudah diberi warning agar dalam memilih jodoh, agama
dijadikan kriteria pertama dan utama. Agama ibarat angka 1 (satu), sementara
kecantikan/ketampanan, kekayaan dan nasab ibarat angka 0 (nol). Angka 0 (nol)
tidak ada artinya jika di depannya tidak ada angka 1 (satu), 1 (satu) ditambah
0 (nol) bisa 10, 100 dan 1000.
Bila
tiba saat menikah dan ternyata yang akan dinikah itu beda agama, ulama sepakat
hukumnya haram bagi wanita Muslimah kawin dengan laki-laki non Muslim. Bagi
laki-laki Muslim masih ada perdebatan jika calon istrinya ahli kitab.
Alasan yang digunakan antara lain Al Baqarah:
221 dan Al Maidah: 5 yang berbunyi :
وَلَا تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ
Janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ مِنْ
قَبْلِكُمْ إِذَآ آتَيْتُمُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ
مُسَافِحِيْنَ وَلاَ مُتَّخِذِيْ أَخْدَانٍ
(Dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik.
Ulama yang mengharamkan
bahwa laki-laki Muslim haram menikah dengan ahli kitab karena kata musyrik
mempunyai makna umum terhadap semua orang
yang mempersekutukan Allah, termasuk di dalamnya ahlul kitab.
Sementara dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Pasal 8 huruf (f) menjelaskan: “perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Rumusan pasal 2 ayat (1) tersebut meniscayakan bahwa sah tidaknya perkawinan dikembalikan kepada agama masing-masing. Pasal 8 huruf (f) menggariskan jika agama melarang kawin beda agama, maka secara mutatis mutandis undang-undangpun melarangnya.
Pasal 2 ayat (2) "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku". Dikandung maksud bahwa pencatatan merupakan legalitas yuridis, pernikahan yang telah
memenuhi syarat dan rukun menurut agama yang diyakini adalah sah hanya tidak
mempunyai kekuatan hukum jika tidak didaftarkan di KUA untuk orang Islam dan di
Dukcapil untuk non Muslim.
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan turunannya/aturan teknisnya tidak memberikan ruang
perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama tidak bisa dilaksanakan di
Indonesia, karena pembuat undang-undang berpendapat perkawinan beda agama
menyalahi aturan semua agama yang menjadi dasar utama dalam melakukan
perkawinan.
Perkawinan campuran yang
diatur dalam undang-undang ini adalah perkawinan beda kewaganegaraan yang
masing-masing tunduk pada hukum negaranya, bukan beda agama.
Rumusan yang lebih tegas
lagi diatur dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam, pasal 40 : dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
1. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
dengan pria lain;
2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain;
3. seorang wanita yang tidak beragam Islam.
Selanjutnya Pasal
44 menggariskan: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
pria yang tidak beragama Islam". Pasal 61 : " Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah
perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien".
Berdasarkan uraian tersebut di
atas, maka perkawinan beda agama diharamkan menurut hukum Islam dan tidak
difasilitasi oleh negara. Jika faktanya ada perkawinan beda agama dapat
dipastikan terjadi penyelundupan hukum, dalam arti salah satu pihak
berpura-pura masuk agama calon pasangannya dan peristiwa demikian bukan sikap
toleran, tapi kedunguan. Walahu a’lam bi
shawab.
Posting Komentar untuk "HUKUM MENIKAH BEDA AGAMA"