PENCERAMAH RADIKAL
azahri.com- Penceramah adalah orang yang menyampaikan
ceramah atau pembicara. Sementara ceramah menurut KBBI diartikan:
1. pidato oleh seseorang di hadapan banyak pendengar, mengenai suatu hal, pengetahuan, dan sebagainya;
2. suka bercakap-cakap (tidak pendiam), ramah;
3. cerewet; banyak cakap; nyinyir;
Adapun yang relevan dengan topik ini
adalah arti yang pertama, yakni menyampaikan pidato, pengetahuan dan sesuatu hal. Menyampaikan sesuatu hal tentu bersifat
umum, termasuk menyampakain ajaran Islam, hukum Islam, syariat Islam, atau menyampaiakan
ajaran ,hukum, norma dari non Islam.
Secara
etimologis, kata radikal berasal dari bahasa Latin, radix
atau radici. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), istilah radikal
berarti ‘akar’, ‘sumber’, atau ‘asal-mula’. Dimaknai lebih luas, istilah
radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal,
dan esensial atas bermacam gejala.
Dari tinjaunan bahasa, kata “radikal “ cendrung bermakna netral dan positif. Mengetahui atau
mempelajari sesuatu sampai ke akarnya, dari usul (pokok) sampai furu’ (cabang).
Boleh dikata mempelajari Islam mulai akidah, ibadah dan akhlak secara detail
atau rinci.
Dalam kaidah usul fikih, yang pokok dipelajari
dulu baru rinciannya. Ungkapan terkenal Abu Ishaq dalam kitab Jami’ al-Bayan:
مَنْ جَهِلَ اَلْأَصْـلَ ، لَـمْ يُصْبِبِ الْفَـرْعَ
أَبَدًا
“Barang
siapa tidak mengetahui (memahami) permasalahan pokok, maka dia tidak akan bisa
memahami permasalahan cabang untuk selamanya”
Namun bila dilihat dari sisi sosial politik,
penerapan istilah radikal dalam politik
praktis cendrung bermakna negatif. Hal
demikian semakna dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online dalam
mengartikan ‘radikalisme’ dalam tiga arti, yaitu pertama, paham atau radikal
dalam politik, kedua, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, dan ketiga,
sikap ekstrem dalam aliran politik.
Terminologi Penceramah Radikal menjadi
pembicaraan yang hangat dan ramai, baik di media sosial maupun media mainstream
setelah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis 5
(lima) ciri penceramah radikal.
Penceramah radikal versi BNPT yang di-share
di berbagai media adalah:
1.
Penceramah yang
mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah transnasional.
2.
Penceramah yang
mengajarkan paham takfiri atau mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham
ataupun berbeda agama.
3.
Penceramah yang
menanamkan sikap anti-pemimpin atau pemerintahan yang sah dengan sikap membenci
dan membangun ketidak percayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan
maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate
speech), dan menyebarkan berita bohong (hoax).
4.
Penceramah yang
memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan ataupun perubahan serta
intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman.
5.
Penceramah radikal yang
biasanya memiliki pandangan anti-budaya atau anti-kearifan lokal keagamaan.
Dari sisi istilah atau nomenklatur
sudah banyak menuai kritik, antara lain bahwa dari sisi bahasa istilah radikal berkonotasi positif, yakni memahami
sesuatu sampai ke akar-akarnya. Al Chaidar, seorang pengamat terorisme
mengusulkan lebih tepat dengan istilah Penceramah Anarkis, jika mengacu pada 5 (lima) kriteria
dimaksud. Anarkis bisa dimaknai tidak punya akar ideologi yang jelas, semaunya
sendiri asal menguntungkan pelakunya.
Lima kriteria yang dihadirkan BNPT berpeluang
multi tafsir karena tidak “jami’ mani”, tidak mengumpulkan semua unsur terkait
dan meniadakan atau menolak unsur yang tidak terkait, masih terlalu umum. Sehingga
dikhawatirkan oleh berbagai pihak pada
tataran implementasinya disalah gunakan.
Misalnya, kenapa penceramah radikal cendrung mengarah pada penceramah beragama
Islam, ustaz, kiai, mubaligh dst. Bagamana dengan penceramah non muslim?
Terbukti beberapa tokoh Islam, baik
dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun
ormas Islam atau tokoh yang tidak berafiliasi pada ormas memberikan komentar negatif seputar 5 (lima)
kriteria dimaksud.
Dari komentar mereka di berbagai media dapat diringkas antara lain:
1.
Bahwa banyak ajaran
atau ideologi yang bertentangan dengan Pancasila seperti komunisme, kapitalisme
dll. Sementara jika dikaitkan dengan pengamalan 5 (lima) sila masih banyak kebijakan
dan tindakan yang juga bertentangan dengan pancasila. Jadi kriteria ini masih terlalu umum sehingga
menjadi bias dalam eksekusinya.
2.
Terkait istilah khilafah,
jika yang dimaksud adalah mereka yang ingin mengganti ideologi Pancasila atau ingin
mengganti sistem negara bangsa (national state) dengan sistem khilafah tentu
wajar dicirikan radikal. Bukan sekedar kelompok yang melakukan diskusi dengan pembahasan
khilafah dalam kajian fikih siyasah.
3.
Al Qur’an dan Hadis menyebut orang yang beragama lain (non-Islam) dengan
sebutan kafir tidak perlu dipermasalahkan, sepanjang tidak digunakan secara dramatis
menunjuk person beragama lain secara langsung. Misalnya dengan kata-kata ”Lo
Kafir “ dan sejenisnya. Juga tidak digunakan mengkafirkan sesama mukmin/muslim. Khawatir nanti ada ustaz
menyebut orang Kristen ketika ceramah di masjid dengan sebutan kafir dianggap
radikal
4.
Para penceramah yang
menghasut atau menyebarkan berita bohong layak disebut radikal. Tapi bagaimana
dengan para Buzzer yang menyebarluaskan fitnah dan adu domba, apakah tidak masuk
pada kriteria 3 (tiga), tidak hanya penceramah.
5.
Soal pengertian eksklusif harus dimaknai secara
proporsional dalam arti tidak mencampuri ibadah agama lain. Kalau dalam bergaul
orang Islam tentu harus terbuka dengan umat lain, apalagi dalam bermuamalah.
6.
Orang Islam tentu menghargai
budaya lokal, sepanjang budaya itu tidak membawa pada kekufuran, seperti berkorban untuk tempat
keramat dll. Kalau budaya itu sejalan dengan Islam, seperti dakwah yang di
kembangkan para Wali Songo dengan
menggunakan kearifan lokal, tidak masalah.
Wal hasil, apa yang dirumuskan oleh BNPT
itu tentu perlu diperbaiki dengan melibatkan lembaga atau organisasi yang
bergerak dibidang dakwah atau penyiaran agama, baik Islam maupun non non Islam.
Atau mereka yang memiliki kompetensi di bidang ini sehingga rumusannya lebih
komprehensif dan tidak multi tafsir.
Dismping
itu, untuk aturan yang berdemensi luas dan menyangkut hajat hidup masyarakat banyak,
seharusnya mendapat payung hukum yang
kuat, setidaknya peraturan pemerintah atau keputusan presiden. Walahu a’lam bi
shawab.
Posting Komentar untuk "PENCERAMAH RADIKAL"