Syarat dan Rukun Puasa
azahri.com ~ Semua ibadah mahdhah pasti ada syarat dan rukunnya, termasuk ibadah puasa. Syarat adalah sesuatu yang harus ada atau dikerjakan sebelum melaksanakan ibadah yang dikehendaki. Syarat dibedakan menjadi dua, syarat wajib, yakni syarat yang melekat pada diri seseorang sehingga dia memenuhi kewajiban menjalankan suatu ibadah dan syarat sah, yakni syarat yang menentukan sah atau tidaknya ibadah .
Rukun adalah
sesuatu yang harus dan wajib dikerjakan saat melakukan ibadah, apabila rukun
tidak dipenuhi, maka ibadah yang dilakukan
tidak sah, maksudnya belum menggugurkan kewajiban.
Dalam berbagai
kitab fikih, baik fikih madzhab maupun fikih umum, syarat wajib puasa adalah:
muslim/mukmin, berakal sehat, akil
baligh, sehat jasmani dan mukim (tidak bepergian) serta mampu. Adapun syarat
sahnya puasa tidak haid dan nifas bagi
wanita.
Sementara rukun
puasa para ulama menggariskan paling banyak dua, yakni niat ikhlas
karena Allah Swt dan menjauhi semua perbuatan yang membatalkan puasa.
Perdebatan di kalangan
para ulama adalah terkait niat, apakah niat termasuk syarat sahnya puasa atau
rukun puasa. Jika niat dianggap perbuatan di luar puasa maka masuk
katagori syarat, namun jika dimaksukkan
rangkaian ibadah puasa maka niat termasuk rukun.
Bagi kalangan
awam tidak terlalu penting, apakah niat masuk syarat atau rukun, yang pasti
ketika berpuasa harus ada niat. Perdebatan dalam hal detail ibadah adalah
domain para ahlinya (ulama).
Penjelasan
singkat masing-masing syarat sebagai berikut:
1. Kewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadan hanya bagi yang beriman (mukmin) dan beragama Islam (muslim) karena khitab ayat puasa ditujukan hanya kepada mukmin/muslim. Firman Allah Swt:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ [البقرة : 183]
Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.
2. Berakal sehat dan telah akil baligh. Orang yang terkena gangguan
jiwa dan anak-anak tidak wajib puasa dan ibadah lainya. Namun anak-anak
meskipun belum wajib puasa orang tua harus melatihnya untuk berpuasa. Sebagaimana
hadis Nabi:
عن
علي -رضي الله عنه- عن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: رُفِعَ الْقَلَمُ
عن ثلاثة: عن النائم حتى يَسْتَيْقِظَ، وعن الصبي حتى يَحْتَلِمَ، وعن المجنون حتى
يَعْقِلَ. رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وأحمد.
“Dari Ali Ra, dari Nabi Saw, beliau
bersabda, “Pena (pencatat amal) akan diangkat dari tiga orang, yaitu: dari
orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak-anak sampai dia balig, dan dari
orang yang gila sampai dia sadar (berakal).”
3.
Sakit dan Mukim. Orang sakit dapat rukhshah (keringanan) untuk tidak puasa
dan mengganti pada hari lain, demikian pula orang yang bepergian. Berdasar
firman Allah. Swt:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا اَوْ عَلَى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ اَيَّامٍ اُخَرَ
…”Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan,
maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari
yang lain….” (QS. Al-Baqarah : 185).
Jenis penyakit yang membolehkan seseorang tidak menjalankan kewajiban
puasa Ramadan adalah penyakit yang akan bertambah parah bila berpuasa atau
ditakutkan penyakitnya akan terlambat untuk sembuh.
4. Mampu. Allah Swt. hanya
mewajibkan puasa Ramadan kepada orang yang mampu untuk melakukannya. Sedangkan
orang yang sangat lemah atau lansia dimana secara fisik memang tidak
mungkin lagi melakukan puasa, maka mereka tidak diwajibkan puasa. Allah SWT
berfirman :
…وَعَلَى
الَّذِيْنَ يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينِ…
“Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang
miskin..” (QS. Al-Baqarah : 184)
Adapun syarat
sah puasa adalah suci dari haid dan
nifas bagi wanita. Dalilnya adalah hadis dari Mu’adzah, beliau pernah bertanya pada ‘Aisyah Ra.
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ
عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى
الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ
وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ
الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya
bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid
mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah
kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi
aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami
diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’
shalat’.”
Selanjutnya mengenai rukun puasa ada dua, yakni niat dan
meninggalkan semua yang membatalkan puasa. Dalil niat adalah sabda Nabi Saw.إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung
dari niatnya.”
Semua ibadah harus ada niat khusus untuk membedakan dengan adat kebiasaan.
Puasa perlu niat sehingga jelas antara puasa wajib dan puasa sunah atau puasa
dengan sekedar diet untuk langsing agar tidak langsung (gemuk tanpa lekukan).
Niat puasa tidak harus dilafazkan, cukup dalam hati karena niat itu kehendak untuk melakukan sesuatu, kehendak
tentu dalam hati . Imam An Nawawi rahimahullah –ulama besar Syafi’iyah- berkata:
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ
وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan
niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah
ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ
الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ
أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ
“Niat itu letaknya di hati
berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia
lafazkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan
kesepakatan para ulama.”
Niat puasa wajib harus dibulatkan sebelum
fajar. Berbeda dengan puasa sunat dimana niatnya boleh selepas fajar . Dalilnya
adalah hadits dari Ibnu Umar RA dari Hafshoh –istri Nabi Saw, Nabi Saw.
bersabda,
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ
صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa siapa yang tidak
berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”
Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah
berikut ini. ‘Aisyah berkata,
دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ
“Pada suatu hari, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai
makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan
berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata,
“Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat
dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari,
sesungguhnya dari tadi pagi aku berpuasa, maka beliau makan”. (HR. Muslim)
Para ulama memberi batasan niat puasa
sunat sampai matahari tergelincir. Lebih mantap kiranya niat puasa dilakuan
setiap hari, tidak cukup diniati sekali di awal bulan.
Rukun puasa kedua adalah menahan diri dari berbagai hal yang membatalkan puasa mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ
الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Maksud ayat adalah إِنَّمَا
ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ terangnya siang dan gelapnya malam,
bukan benang secara hakiki.
Ulama sepakat bahwa
yang membatlkan puasa itu adalah makan, minum dan hubungan badan serta turunannya.
Termasuk turunan minum adalah merokok (minum asap), memasukkan cairan infus
dsb. Turunan hubungan badan: masturbasi,
menonton gambar/video porno sehingga keluar mani dsb. Wallahu a’lam bi shawab.
Posting Komentar untuk "Syarat dan Rukun Puasa"