Ijtihad dan Mujtahid Part 4 (Metode ijtihad dan Syarat Mujtahid)
azahri.com
5. Metode Ijtihad
Ijtihad sebagai salah satu upaya penggalian
hukum Islam yang cukup dinamis dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama, melalui
kaidah-kaidah kebahasaan, seperti meneliti kehendak lafal melalui teks yang
‘amm (umum), khass (khusus), muqayyad (terbatas), mujmal (secara keseluruhan
dan umum), mubayyan (jelas), mantuq (makna yang langsung dapat dipahami dari
dalil), mafhum (makna yang dipahami dari dalil secara tersirat, musytarak
(mengandung beberapa arti), dan mu’awwal (yang ditakwil).
Kedua,
melalui kaidah-kaidah syar’iyyah yang diinduksi melalui cara yang ditempuh
Syari’ dalam menetapkan hukum dan tujuan yang hendak dicapai dalam
pensyari’atan hukum tersebut. Jika metode ijtihad dari segi kebahasaan
ditujukan kepada teks Al-Qur’an dan sunah, maka metode syar’iyyah (yang
berdasarkan kaidah-kaidah syar’i) berupaya menggali hukum Islam melalui makna
yang ingin dicapai Syari’ melalui pensyari’atan hukum.
Konsep seperti ini dikenal dalam ushul fiqh
dengan maqasid asy-syari’ah. Metode ijtihad dalam bentuk kedua ini dipergunakan
ketika hukum yang pasti dalam kasus yang dihadapi tidak terdapat dalam
Al-Qur’an atau sunah, dan belum ada ijma’ ulama terhadap hukumnya.
6. Syarat-Syarat Mujtahid
Mujtahid adalah orang yang melakukan
ijtihad. Ulama ushul fiqh telah menetapkan berbagai persyaratan yang harus
dimiliki oleh seorang mujtahid:
a)
Mempunyai
pengetahuan yang memadai tentang Al-Qur’an. Ulama sepakat bahwa seorang
mujtahid harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang Al-Qur’an dengan ilmu
yang terkait dengannya, termasuk asbab an-nuzul (sebab turunnya ayat), serta
nasikh (ayat yang membatalkan ayat sebelumnya) dan mansukh (ayat yang
dibatalkan oleh ayat yang datang kemudian).
b)
Memiliki
pengetahuan yang baik tentang sunah Rasulullah Saw. Pengetahuan tersebut harus
dimiliki seorang mujtahid karena sunah merupakan penjelas (al-bayan) dari
Al-Qur’an dan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an.
c)
Mengetahui
persoalan-persoalan yang menjadi ijma’ (consensus) ulama terdahulu. Seorang
mujtahid dituntut untuk mengetahui seluk-beluk ijma’ serta persoalan-persoalan
yang telah disepakati hukumnya oleh ulama. Pengetahuan tersebut diperlukan agar
mujtahid yang bersangkutan tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan
hukum ijma’ ulama terdahulu.
d)
Mengetahui
bahasa Arab. Pengetahuan yang baik tentang seluk-beluk bahasa Arab sangat
dituntut dari seorang mujtahid, karena Al-Qur’an dan sunah menggunakan bahasa
Arab. Dengan demikian, seorang mujtahid tidak mungkin meng-istinbatkan-kan
hukum dari kedua sumber tersebut jika tidak memahami bahasa Arab dengan baik.
Akan tetapi, Wahbal az-Zuhaili mengatakan bahwa seorang mujtahid tidak dituntut
menghafal sepenuhnya seluk-beluk bahasa Arab seperti nahwu, sharaf, dan
balaghah, tetapi disyaratkan mempunyai kemampuan untuk merujuk pengertian dan
seluk-beluk bahasa tersebut dari kitab-kitab standard yang ada.
e)
Menguasai
ilmu ushul fiqh. Seorang mujtahid harus memahami ilmu ushul fiqh secara baik,
karena dalam ilmu itu dapat diketahui kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan
untuk meng-istinbat-kan hukum syara’ dari Al-Qur’an dan sunah; apakah peristiwa
yang akan dicari hukumnya ditunjuk secara jelas oleh nash, atau peristiwa itu
tidak sama sekali dibicarakan secara jelas oleh nash.
f)
Memahami
maqasid asy-syari’ah (maksud-maksud syara’). Secara jeli dan baik. Syarat ini
diperlukan oleh seorang mujtahid, karena dalam memahami dan menerapkan
hukum-hukum yang dikandung oleh nushus terhadap persoalan hukum yang
dihadapinya harus senantiasa mengacu kepada maksud Allah Swt dalam mensyari’atkan
hukum.
Persyaratan-persyaratan yang disebutkan di
atas merupakan persyaratan intelektual yang harus dipenuhi oleh seorang
mujtahid. Di samping itu, dalam literatur ushul fiqh ulama juga memberikan
syarat yang terkait integritas pribadi, seperti beriman, dewasa, berakal sehat
serta memiliki pemahaman yang mendalam dan tajam.
Posting Komentar untuk "Ijtihad dan Mujtahid Part 4 (Metode ijtihad dan Syarat Mujtahid)"