Posisi Tangan Waktu I’tidal
Pertama, pendapat yang menyatakan waktu
i’tidal harus sedekap mengemukakan dalil-dalil, antara lain:
عَنْ
وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهَُّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حِينَ كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِذَاءَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ حِينَ رَكَعَ ثُمَّ حِينَ
قَالَ سَمِعَ اللهَُّ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُهُ مُمْسِكًا
يَمِينَهُ عَلَى شِمَالِهِ فِي الصَّلاةِ ... [رواه أحمد]
Artinya: “Dari Wail bin Hujr, ia
berkata: Saya pernah melihat Nabi saw ketika bertakbir beliau mengangkat kedua
tangannya hingga berbetulan dengan kedua telinganya, kemudian juga (mengangkat tangan)
ketika rukuk, kemudian ketika mengucap sami’allahu liman hamidahu (juga mengangkat
kedua tangannya) dan pada (waktu itu) saya melihatnya dalam keadaan memegang
dengan tangan kanannya atas tangan kirinya dalam shalat … .” [HR. Ahmad]
Lafaz “ra‘aituhu mumsikan biyamiinihi
‘ala syimalihi” merupakan petunjuk yang sangat jelas, bahwa setelah bangkit dari
rukuk (ketika berdiri i‘tidal), tangan kanan berada di atas tangan kiri, dan tentu
saja letaknya di dada karena ada riwayat lain yang menerangkan demikian sebagaimana
disebutkan:
عَنْ
وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَوَضَعَ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى يَدِهِ اْليُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ
[رواه ابن حزيمة]
Artinya: “Dari Wail bin Hujr, ia berkata: Sava
pernah shalat beserta Nabi saw, ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya
di dadanya.”
Dalil yang lain ialah hadis riwayat
Ahmad juga dari Wail bin Hujr:
صَلَّيْتُ
خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَبَّرَ حِينَ دَخَلَ
وَرَفَعَ يَدَهُ وَحِينَ أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ وَحِينَ رَفَعَ
رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَ يَدَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ [رواه أحمد]
Artinya: “Saya shalat di belakang Nabi saw, maka ia
bertakbir ketika ia masuk (memulai shalat) dan mengangkat kedua tangannya, dan
ketika akan rukuk ia angkat kedua tangannya dan ketika mengangkat kepalanya dari
rukuk ia (juga) mengangkat kedua lengannya dan ia meletakkan kedua telapak
tangannya ... . [HR. Ahmad]
Kesimpulannya bahwa berdasarkan
kedua riwayat Ahmad di atas sedekap ketika berdiri i’tidal hukumnya wajib.
Kedua, pendapat yang
menyatakan waktu i’tidal tidak perlu sedekap, dengan penjelasan mengenai masalah
tersebut sebagai berikut:
رَأَيْتُ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعًا يَمِينَهُ عَلَى شِمَالِهِ
فِي الصَّلاةِ [رواه
أحمد]
Artinya: “Aku melihat Nabi saw meletakkan
tangan kanannya pada tangan kirinya dalam shalat.” [HR. Ahmad]
صَلَّيْتُ
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَوَضَعَ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى يَدِهِ اْليُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ
[رواه ابن حزيمة]
Artinya: “Saya shalat bersama Nabi saw dan beliau meletakkan
tangan kanannya pada tangan kirinya di dadanya (sedekap).” [HR. Ibnu Huzaimah]
Dua hadis di atas bersifat umum,
maksudnya bahwa Nabi saw meletakkan tangannya di dada (sedekap) pada waktu
shalat. Sikap tangan seperti itu (sedekap) dikecualikan pada waktu rukuk,
sujud, duduk antara dua sujud, duduk tasyahud awal, dan duduk tasyahud akhir. Posisi
sedekap juga dilakukan ketika berdiri sesudah takbiratul ihram, seperti
disebutkan dalam hadis riwayat Muslim, dan ketika berdiri sesudah rakaat
pertama, sesudah tasyahud awal dan sesudah rakaat ketiga, sebagaimana diatur
dalam hadis riwayat Muslim dan lain-lain. Sedangkan yang belum ada aturan khususnya
yaitu ketika berdiri i’tidal. Maka untuk ini diberlakukanlah aturan umum, yaitu
menurut ketentuan dua hadis di atas (hadis riwayat Ahmad dan riwayat Ibnu
Khuzaimah), bahwa posisi tangan ketika i’tidal adalah sedekap.
Sementara itu pendapat yang lain
mengatakan bahwa posisi tangan sesudah i’tidal adalah lurus ke bawah (tidak
sedekap di dada). Dalil-dalil yang dikemukakan adalah sebagai berikut:
...
وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلا [رواه الترمذي]
Artinya: “… dan Nabi berdiri tegak (i’tidal) sehingga
tiap-tiap tulangnya kembali di tempatnya dengan lurus.” [HR. at-Turmudzi]
ثُمَّ
يَمْكُثُ قَائِمًا حَتىَّ يَقَعَ كُلُّ عُظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ [رواه ابن أبي شيبة]
Artinya: “… kemudian Nabi tegak berdiri sehingga
setiap anggota badan kembali ke tempatnya.”
فَإِذَا
رَفَعْتَ رَأْسَكَ فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعِظَامُ إِلَى
مَفَاصِلِهَا [رواه أحمد]
Artinya: “Apabila kamu mengangkat kepalamu (dari
rukuk) maka tegakkanlah punggungmu sampai kembali tulang-tulang kepada sendi-sendinya.”
[HR. Ahmad]
لاَ
تُجْزَئُ صَلاةٌ لاَ يُقِيمُ الرَّجُلُ فِيهَا صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ
وَالسُّجُودِ [رواه الخمسة]
Artinya: “Tidak dibalas shalat
seseorang yang tidak meluruskan tulang punggungnya ketika rukuk dan sujud.”
Lafal “kullu admin” (tiap-tiap
tulang) pada hadits di atas, yang dimaksud bukan tulang punggung yang harus
berposisi lurus setelah bangkit dari sujud atau rukuk, sebab posisinya ketika
sujud dan rukuk sudah diatur dalam hadis keempat. Dengan demikian yang dimaksud
dengan “admin” dan “udwin” dalam hadis di atas adalah kedua tangan, sehingga
posisi kedua tangan sesudah i’tidal adalah lurus ke bawah, karena kalau tangan
bersedekap di dada berarti tidak lurus. Jadi kami berkesimpulan bahwa posisi
tangan sesudah i’tidal adalah lurus ke bawah (tidak sedekap). Walllahu
a’lam.
Posting Komentar untuk "Posisi Tangan Waktu I’tidal"