RUMUS MENETAPKAN BESARAN MUT’AH DAN WAKTU MENYERAHKANNYA
1. Pendahuluan
Keperpihakan Islam terhadap kaum perempuan sangat nyata. Dalam segala aspek kehidupan perempuan mendapat tempat yang terhormat sesuai fungsi dan perannya. Meskipun dalam segala hal tidak harus setara dengan kaum laki-laki. Kesetaraan gender bukanlah dari norma Islam, jika semua hal harus setara antara laki-laki dan perempuan, maka akan bias gender bahkan terjadi pemerkosaan hak dan kewajiban.
Dengan dalih persamaan, kemudian perempuan juga diwajibkan menanggung nafkah keluarga setara dengan laki-laki, maka akan memberatkan kaum perempuan. Boleh jadi perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki dalam mengais rezeki di ruang public, tapi harus diingat tugas domestiknya yang utama adalah membersamai anak-anak mereka dalam pendidikan pertama, khususnya pendidikan karakter.
Dalam pandangan Islam yang utama bukan persamaan hak dan kewajiban, namun keadilan gender. Keadilan makna sederhananya adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberikan hak kepada yang berhak. Berbasis keadilan gender, Islam menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga sekaligus sebagai penanggungjawab sumber utama pendapatan rumah tangga. Firman Allah Swt Surat An Nisa’ ayat 34:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِم
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.”
Hak dan kewajiban dalam bangunan rumah tangga Islam telah diatur sedemikian rupa secara berimbang. Bahkan dalam hal rumah tangga berpisah jalan karena suatu hal yang tidak bisa dipertemukan, Islam juga memberi solusi yang elegan. Untuk melindungi kaum perempuan dari hegemoni laki-laki ada kewajiban yang harus dibayar mantan suami kepada mantan istri, antara lain: nafkah terhutang, mut’ah dan iddah.
2. Arti Mut’ah dan Landasan Yuridisnya
Kata mut'ah (متعة ) berasal dari kata متع artinya senang. Bentuk lainnya المتاع)) yang berarti sesuatu yang dijadikan sebagai objek bersenang-senang ما يستمتع به) ). Secara definitif, makna mut’ah menurut Muhammad al-Khathib Asy-Syarbainiy, dalam kitabnya Mugniy al-Muhtaj, adalah:
مال يجب على الزوج دفعه لامرأته المفارقة في الحياة بطلاق وما في معناه
“sejumlah harta yang wajib diserahkan suami kepada isterinya yang telah diceraikannya semasa hidupnya dengan cara talak atau cara yang semakna dengannya”. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, mutah ialah sesuatu (uang, barang dsb) yang diberikan suami kepada istri yang telah diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya.
Pemberian mut’ah dimaksudkan untuk memberikan kesenangan atau setidaknya mengobati rasa sakit hati karena dicerai suami. Atau bahkan menjadi bekal hidup selama menjalani hidup sebagai janda. Suami yang bertanggung jawab akan memberikan mut’ah yang layak kepada mantan istrinya meskipun tanpa diminta atau dituntut di pengadilan.
Landasan yuridis pemberian mut’ah adalah Al Qur’an, Al Hadis, aqwal para ulama’ dan ketentuan hukum positif. Allah berfirman dalam Al Qur’an surat Al Baqarah 241:
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
"Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa."
عَن ْ عَاءِشَة َ أَن َّ عَمْرَةِ بنت الجَوْن ِ تَعَو َّ ذَت ْ مِن ْ رَسُوْلَ الله صَلى عَلَيْه ِ وَسَلَّم َ حِين َ اُدْخِلَت ْ عَلَيْهِ. فَقَال َ لَقَد ْ عُذْت ِ بِمُعَا ذ فَطَلَّقَهَا. وَاَمَرأَسَامَة َ أو ْ أَنَسًا, فَمَتَّعَهَا بِثَلَلثَة ِ أَثْوَاب ٍ رَا ٍزِقِيَّة
“Dari Aisyah sesunggunya Amrah binta al Jaun meminta perlindungan kepada Rasulullah SWA ketika dia digauli olehnya. Lalu Rasul berkata sesungghnya engkau telah berlindung kepada Mu’adz. Lalu beliau menceritakannya dan memerintahkan Usmah atau Ans agar memberikan mut’ah padanya dengan tiga kain linen putih”. (HR. Ibnu Majah)
Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib Syarhu Raudl ath-Thalib mengemukakan:
الْبَابُ الْخَامِسُ فِي الْمُتْعَةِ -- هِيَ اسْمٌ لِلْمَالِ الَّذِي يَجِبُ عَلَى الرَّجُلِ دَفْعُهُ لِامْرَأَتِهِ بِمُفَارَقَتِهِ إيَّاهَا
“Bab kelima tentang mut’ah. Mut’ah adalah nama untuk menyebut harta-benda yang wajib diberikan seorang (mantan) suami kepada (mantan) isterinya karena ia menceraikannya”.
Dalam hukum positif diatur pada Pasal 149 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, “ Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul”.
Pendapat yang kuat menyatakan bahwa istri mendapat mut’ah dari suami jika suami yang berkehendak menceraikan istri (cerai talak). Apabila inisiatif dari pihak istri (cerai gugat) atau disebabkan oleh pihak istri, maka gugurlah hak mut'ah bagi istri. Hal mana termuat dalam kitab Kifayah al-Akhyar karangan Taqiyuddin Muhamman Abu Bakar al-Husaini
وَكُلُّ فُرْقَةٍ مِنْهَا أَوْ بِسَبَبٍ لَهَا فِيهَا لَا مُتْعَةَ فِيهَا كَفَسْخِهَا بِإِعْسَارِهِ أَوْ غَيْبَتِهِ أَوْ فَسْخِهِ بِعَيْبِهَا
Artinya: “Setiap perceraian yang terjadi karena inisiatif dari pihak perempuan atau disebabkan oleh pihak perempuan maka tidak ada mut’ah, seperti pihak perempuan menggugat cerai suaminya karena si suami tidak mampu mencukupi nafkahnya atau menghilang, atau pihak lelaki mengajukan tuntutan cerai karena adanya aib pada isterinya.”
Pendapat di atas berbeda dengan SEMA No. 2 Tahun 2019 - Rumusan Kamar Agama - C.1.b yang menentukan, “Dalam rangka pelaksanaan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka amar pembayaran kewajiban suami terhadap istri pasca perceraian dalam perkara Cerai Gugat dapat menambahkan kalimat sebagai berikut: “... yang dibayar sebelum Tergugat mengambil akta cerai”, dengan ketentuan amar tersebut dinarasikan dalam posita dan petitum gugatan.
3. Rumus Menetapkan Besaran Mut’ah dan Waktu Menyerahkannya
Seputar besar atau jumlah mut’ah pada umumnya disebut berdasarkan kemampuan suami dan kepatutan. Firman Allah Swt:
…وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدَرُهٗ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهٗ ۚ مَتَاعًا ۢبِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ
…. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. al-Baqarah [2]: 236)
Hal senada dirumuskan dalam SEMA No. 7 Tahun 2012 - Kamar Agama – 16 tentang Kriteria Penentuan Besaran Mut’ah, Nafkah Iddah dan Nafkah Anak. Kriterianya adalah dengan mempertimbangkan kemampuan suami dan kepatutan, seperti lamanya masa perkawinan, besaran take-home-pay suami.
Disempurnakan dengan SEMA No. 3 Tahun 2018 - Kamar Agama – III.A-2 dan SEMA No. 1 Tahun 2017 - Rumusan Hukum Kamar Agama - C.1. sehingga berbunyi: “Hakim dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah dan nafkah anak, harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup isteri dan/atau anak.”
Penentuan besar atau jumlah mut’ah atas dasar kemampuan suami dan kepatutan masih belum menghasilakan rumus yang konkrit. Pada saat hakim menggali kemampuan ekonomi suami, seringkali suami merendahkan kemampuan ekonominya. Sementara azas kepatutan ukuranya masih wilayah abu-abu, apakah berdasarkan Upah Minimum Regional atau wilayah domisisil para pihak: pedesaan atau perkotaan, perumahan elit atau kampung alit/kumuh.
Penetapan besar mut’ah yang konkrit sebagaimana dikemukakan Abu Zahrah dalam Kitab Ahwalu Syahsyiyah halaman 33, yakni sebesar nafkah yang diberikan suami saat masih rukun dikalikan setahun atau 12 bulan.
إنه اذا كان الطلاق بعد الدخول بغير رضاها تكون لها متعة هي نفقة سنة بعد انتهاء العدة.
“Apabila talak dijatuhkan setelah istri disetubuhi (ba’da al-dukhūl), sedangkan isteri tidak rela atas talak tersebut, maka istri berhak memperoleh mut’ah dari bekas suaminya, yaitu setara dengan nafkah selama satu tahun terhitung sejak lepas iddah”.
Hakim lebih mudah menggali berapa belanja yang diberikn suami ketika masih rukun. Dalam hal ini suami cendrung mengemukakan apa adanya atau bahkan lebih tinggi karena tidak menyangka akan dijadikan dasar penentuan mut’ah, sementara istri sering mengemukakan lebih rendah untuk mendapat konpensasi melalui mut’ah, nafkah iddah dll.
Pendapat Abu Zahrah tersebut harus dihubungkan dengan lama suami-istri mengarungi rumah tangga. Tentu berbeda besar mut’ah antara suami-istri yang rukun hanya enam bulan dan yang puluhan tahun. Untuk memenuhi rasa keadilan kiranya dapat dibikin rumus:
m = p x n x 12
- Mut’ah = m
- Kelipatan persentasi angka 8 dalam setahun – 12 tahun = p
- Nafkah yang berikan suami saat rukun = n
- Setahun 12 bulan
Contoh: Jika suami istri rukun selama 6 tahun, maka 8/100 x 6 = 0,48, nafkah yang diberikan saat rukun semisal =Rp1.000.000,00, maka mut’ah = 0,48 x Rp1.000.000,00 x 12 = Rp5.760.000,00. Bila suami-istri rukun selama 12 tahun, maka 8/100 x 12 = 0,96 atau dibulat 1, maka mut’ah =1 x Rp1.000.000,00 x 12 = Rp12.000.000,00 dan di atas 12 tahun dihitung 1 atau 100%.
Rumus berikutnya yang juga konkrit cara menghitung nafkah mut’ah adalah dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
- Kemampuan financial yang faktual dari suami
- Lamanya perkawinan (lamanya tinggal bersama sehingga terjadi mu’asyarah bil ma’ruf) dan kebaikan isteri
- Pemenuhan kebutuhan atau nafkah wajib yang dilakukan oleh suami kepada istri ketika masih berumah tangga dan jumlah keturunan.
Dalam buku Pengantar Jurimetri dan Penerapannya oleh M. Natsir Asnawi, nilai mut’ah bisa dihitung dengan rumus sebagai berikut:
- Mut’ah = m
- Jumlah keturunan dan pemenuhan kebutuhan yang dilakukan oleh suami = ...%
- Penghasilan yang dapat disisihkan = p
- Lama suami istri tinggal bersama (saling melayani satu sama lain) = h
m = ...% x p x h
Sebagai contoh:
Jika sepasang suami istri memiliki 4 anak selama hidup bersama, dan telah memenuhi nafkah wajib kepada istri, maka besaran presentasi yang dipakai adalah 15% (besaran presentasi ini disesuaikan dengan rasa keadilan Hakim dengan berpatokan pada jumlah anak dan pemenuhan nafkah wajib ketika berumah tangga)
- Penghasilan suami setelah dikurangi dengan kebutuhan: Rp500.000,00
- Lama pernikahan dimana istri melaksanakan kewajibannya (bisa menggunakan perhitungan tahun atau bulan disesuaikan dengan rasa keadilan) misal 60 bulan
m = ...% x p x h
M = 15% x 500.000 x 60
M = Rp4.500.00,00
Soal waktu penyerahan mut’ah, dalam al-Qur’an, sunnah, kitab fiqih serta Kompilasi Hukum Islam tidak ditemukan secara pasti mengenai batas waktu dan tempat penyerahan mut’ah. Beberapa hakim melakukan terobosan hukum yang logis sesuai azas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, yakni menghukum suami membayar mut’ah sebelum ikrar talak. Meskipun mut’ah merupakan kewajiban yang terjadi setelah perceraian, namun harus dibayar terlebih dahulu sebelum suami mengucapkan ikrar talak, sehingga apa yang menjadi hak istri bukanlah pepesan kosong, tetap bisa menjadi kenyataan.
Terobosan hakim menghukum suami membayar nafkah sebelum ikrar talak pada kasus cerai talak pernah dianulir oleh Mahkamah Agung melalui SEMA No. 3 Tahun 2015 - Rumusan Kamar Agama - C.12. yang berbunyi: “Dalam amar putusan cerai talak, tidak perlu menambahkan kalimat “Memerintahkan Pemohon untuk membayar atau melunasi beban akibat cerai sesaat sebelum atau sesudah pengucapan ikrar talak”, karena menimbulkan eksekusi premature.
Kemudian ketentuan tersebut di atas dicabut dengan SEMA No. 1 Tahun 2017 - Rumusan Kamar Agama - C.1. yang menggariskan: “Dalam rangka pelaksanaan Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak Perempuan pasca perceraian, maka pembayaran kewajiban akibat perceraian, khususnya nafkah iddah, mut’ah dan nafkah madliyah, dapat dicantumkan dalam amar putusan dengan kalimat dibayar sebelum pengucapan ikrar talak. Ikrar talak dapat dilaksanakan bila istri tidak keberatan atas suami tidak membayar kewajiban tersebut pada saat itu.
Banyak upaya yang dilakukan pengadilan agar hak-hak perempuan dan anak bisa terlunasi tanpa prosedur eksekusi, baik dengan pendekatan persuasif maupun dengan tekanan yang terukur, misalnya menahan akta cerai dengan batas tertentu sebelum lahir Sema No. 1 Tahun 2017 tersebut. Allahu “alam bi shawab.
Posting Komentar untuk "RUMUS MENETAPKAN BESARAN MUT’AH DAN WAKTU MENYERAHKANNYA"