MENGUNGKAP AIB CALON PRESIDEN
a. zahri. com ~ Mengungkap kejelekan atau aib pribadi seseorang di depan publik atau untuk saat ini dishare di media sosial tanpa ada hajat pada prinsipnya tidak diperbolehkan. Adapun untuk aib kebijakan karena kedudukan atau jabatan seseorang wajib diungkap dan dikritisi. Misal, seorang bupati muslim membuat kebijakan membolehkan minuman keras beredar bebas di wilayahnya untuk dikonsumsi yang suka minumn keras dengan alasan sebagai penghangat badan.
Ahmad Syalabi dalam kitab Mausuah Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyyah, [Kairo: Maktabah Andhah Mesir, 1959] menceritakan dalam menghadapi tugas yang berat ini, Abu Bakar memahami pentingnya mendengarkan suara rakyatnya dan belajar dari kesalahan yang mungkin ia buat. Kisah Abu Bakar meminta orang-orang untuk mengkritiknya jika ia melenceng saat dilantik sebagai khalifah pertama umat Islam.
Permintaannya tersebut menunjukkan bahwa sebagai pemimpin, ia mengutamakan kepentingan umat Muslim dan ketaatan kepada prinsip-prinsip Islam di atas kepentingan pribadi. Ia menyadari bahwa kepemimpinannya akan diuji dan bahwa ia akan menghadapi tantangan yang berat.
Dengan meminta orang-orang untuk mengawasinya dengan cermat, ia memastikan bahwa ia akan tetap berada di jalur yang benar dan tidak menyeleweng dari ajaran Islam yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad. Kesungguhan dan tekadnya untuk menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana tercermin dalam permintaannya yang tulus ini.
Hemat penulis, mengungkap aib atau kesalahan kebijakan penguasa, atau penguasa yang akan meningkatkan kekuasaannya lebih tinggi bukan termasuk ghibah. Namun bentuk kewaspadaan agar orang banyak yang akan memilihnya mengatahui rekap jejaknya dan terhindar dari salah memilih pemimpin karena sang calon pandai melakukan pencitraan.
Adapun larangan membicarakan aib pribadi sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 12 dan hadis dari Abu Hurairah riwayat Imam Muslim:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟» قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ» قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ، فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ.
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, “Apakah
engkau tahu apa ghibah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang
lebih mengetahui.” Rasulullah Saw. bersabda, “Engkau menyebut tentang saudaramu
sesuatu yang dia tidak sukai (dibenci).” Para sahabat kembali bertanya,
“Bagaimana menurutmu wahai Rasulullah, jika memang benar hal yang dibenci itu
ada dalam diri saudaraku?” Rasulullah Saw. menjawab, “Jika memang ada dalam
dirinya seperti apa yang engkau katakan berarti engkau telah melakukan ghibah
kepadanya, tetapi jika yang engkau katakan tidak ada dalam dirinya berarti
engkau telah menuduhnya secara batil (dusta).” (Muslim, t.th: hadis no. 2589).
Sementara fadilah berbuat sebaliknya, yakni menutup aib saudara adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah hadis:
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا, سَتَرَهُ اَللَّهُ فِي اَلدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barang siapa menutupi aib seorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat” (HR Muslim).
Kendati demikian, membuka aib pribadi seseorang tidak serta merta diharamkan secara menyeluruh. Namun ada ghibah yang dibolehkan jika ada tujuan yang syar’i, yaitu dibolehkan dalam enam keadaan sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah. Enam keadaan yang dibolehkan menyebutkan ‘aib orang lain adalah sebagai berikut:
1. Mengadu tindak kezaliman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang. Semisal mengatakan, “Si Ahmad telah menzalimiku.”
2. Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar. Semisal meminta pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”
3. Meminta fatwa pada seorang mufti seperti seorang bertanya mufti, “Saudara kandungku telah menzalimiku demikian dan demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia lakukan.”
4. Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perowi hadits.
5. Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau bid’ah yang ia lakukan, bukan pada masalah lainnya.
6. Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik. (Syarh Shahih Muslim, 16: 124-125)
Kalau kita perhatikan apa yang dimaksud oleh Imam Nawawi di atas, ghibah masih dibolehkan jika ada maslahat dan ada kebutuhan. Misal saja, ada seseorang yang menawarkan diri menjadi presiden atau anggota DPR sementara rekam jejaknya ketika menjabat sebelumnya amat buruk. Tidak punya kemampuan yang memadai, terlibat kasus korupsi, melakukan kezoliman terhadap rakyat dst. Maka hal demikian harus diungkapkan agar para pemilih tidak salah pilih.
Para ulama kita dulu punya tradisi mengungkap aib orang lain untuk kepentingn agama, yaituu menyeleksi kualitas hadis. Maka lahirlah kitab “Jarh wa Ta’dil”. Orang yang pernah ketahuan bohong sekali saja, hadis yang diriwayatkan darinya ditolak. Pernah ketahuan makan sambil berdiri riwayatnya dianggak lemah.
Kalau kita dilarang mengungkap tuntas kelemahan atau aib calon presiden, bagaimana kita akan dapat pemimpin yang berkulitas. Seharusnya semua calon presiden diungkap sisi positif dan negatifnya, yang penting bukan fitnah, tapi fakta. Maka lahirlah pemilih yang cerdas dan presiden berkualitas. Wallhu ‘alam bishawab.
Posting Komentar untuk "MENGUNGKAP AIB CALON PRESIDEN"