TITIK LEMAH IJTIHAD MUHAMMADIYAH MENETAPKAN 01 RAMADAN 1445 H PADA SENIN 11 MARET 2024
azahri.com ~ Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah memaklumatkan bahwa 1 Ramadhan 1445 H jatuh pada Senin, 11 Maret 2024 dan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1445 H jatuh pada Rabu, 10 April 2024. Sementara, Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1445 H jatuh pada Sabtu, 8 Juni 2024 M.
Titik pembahasan pada catatan ini adalah pada penetapan 1 Ramadan 1445 yang akan berbeda dengan penetapan pemerintah, sementara untuk 1 Syawal, Hari Raya Idul Fitri dan 10 Zulhijjah 1445, Hari Raya Idul Adha tahun ini Maklumat Muhammadiyah sama dengan pemerintah.
Penetapan PP Muhammadiyah yang disampaikan pada Sabtu, 20 Januari 2024 tersebut menyatakan bahwa pada hari Ahad Legi, 29 Sya'ban 1445 H bertepatan 10 Maret 2024 M, ijtimak jelang Ramadhan 1445 H terjadi pada pukul 16:07:42 WIB. Tinggi Bulan pada saat Matahari terbenam di Yogyakarta yaitu 0 derajat 56 menit 28 detik. Ini artinya bahwa di Yokyakarta pada saat Matahari terbenam hilal sudah di atas ufuk (sudah wujud), nanun sangat rendah. Sementara di beberapa wilyah Indonesia Timur seperti Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Papua Barat Daya.hilal belum wujud (di bawah ufuk).
Perbedaan pemerintah dan Muhammadiyah bukan soal antara hisab dan rukyah, namun semata-mata antara hisab dengan hisab. Dalam hal ini karena ada perbedaan kriteria. Pemerintah cq. Kementerian Agama (Kemenag) RI mulai tahun 2022 menggunakan kriteria yang mengacu hasil kesepakatan Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada 2021, bahwa bulan baru disyaratkan ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat yang sebelumnya ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam.
Adapun Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dengan “Hisab hakiki wujudul hilal wilayatul hukmi”. meniscayakan bahwa untuk menetapkan tanggal 1 bulan Qomariyah (bhs baku = Kamariah) harus terpenuhi tiga kriteria secara kumulatif, yaitu:
1) sudah terjadi ijtimak (konjungsi) antara Bulan dan Matahari,
2) ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari, dan
3) ketika Matahari terbenam Bulan belum terbenam, atau Bulan masih berada di atas ufuk berapapun tingginya.
Kriteria ketiga pernah menuai kritik ahli astronomi, hilal di atas ufuk itu hilal penuh/utuh, separo atau seperempat? Bila hilal yang di atas ufuk itu hanya separo berarti hilal yang belum sempurna, bahasa Malaysianya anak Bulan yang lahir prematur. Maka salah satu ahli hisab Muhammadiyah, Dr. Agus Purwanto pernah mengusulkan agar kriteria ketiga diperjelas bahwa yang dimaksud hilal belum tenggelam ketika Matahari terbenam adalah piringan bawah Bulan belum terbenam ketika Matahari tenggelam. Ini masalah astronomi dalam tingkat detail sehingga tidak berdampak secara luas.
Garis merah yang membentang dari barat ke timur adalah garis batas tanggal menurut kriteria wujudul-hilal. Kawasan A adalah kawasan yang memulai masuk tanggal 1 Ramadan 1445 H pada saat terbenam Matahari tanggal 10 Maret 2024 atau menurut konversinya tanggal 1 Ramadan 1445 H bertepatan dengan tanggal 11 Maret 2014 M. Sedangkan kawasan B pada saat itu belum memasuki tanggal 1 Ramadan 1445 H, di kawasan ini tanggal 1 Ramadan 1445 H bertepatan dengan tanggal 12 Maret 2024 M.
Seperti terlihat dalam peta dunia di atas, Indonesia terlewati oleh garis batas tanggal, sebagian besar wilayah masuk dalam kawasan A (kawasan yang memasuki Ramadan tanggal 11 Maret 2024) sementara Wilayah Maluku Utara, Papua, Papua Barat dan Papua Barat Daya masuk dalam kawasan B (kawasan yang memasuki Ramadan tanggal 12 Maret 2024 M). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada peta Indonesia berikut ini.
Persoalan besarnya adalah, apa dasar hukumnya kawasan B yang minus (Bulan belum wujud) harus mengikuti kawasan A yang plus (Bulan sudah wujud). Atau penduduk Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Papua Barat Daya dsb harus mengikuti, orang Jogja, Surabaya, Jakarta, Medan dsb. Ketika hal tersebut dikonfirmasi kepada MTT PP Muh. jawabannya diibaratkan dengan kereta api masuk stasiun. Jika lokomotif kereta api sudah masuk stasiun maka semua gerbongnya dianggap telah masuk stasiun. Jika Jogja hilal sudah wujud, maka Sorong dianggap sudah wujud meskipun sesungguhnya belum wujud.
Analogi seperti ini tidak memiliki atsar syar’i dan menyelisihi tradisi ulama ahli hisab yang muktabar dan mu’tamad. Di kalangan ulama ahli hisab ada angka yang disebut ihtiyad (kehati-hatian). Semua ahli hisab, termasuk Muhammadiyah, bila membuat jadwal waktu shalat/imsakiyah angka ihtiyadnya ± 2 menit, bahkan untuk waktu dhuhur ada yang + 4 menit. Ihtiyad ini bentuk kehati-hatian para ulama jangan sampai ada orang shalat atau buka puasa belum masuk waktunya, kalau beberapa menit lewat waktunya tidak masalah. Bagaimana kalau sudah jelas belum masuk waktunya harus mengikuti tempat lain yang sudah masuk waktunya?
Salah satu guru hisab Muhammadiyah KH. Sa’adoedin Djambek dalam menentukan tanggal baru Bulan Kamariah mempunyai teori pembelokan garis batas Bulan/tanggal. Beliau menjelaskan jika garis batas tanggal membelah wilayah Indonesia menjadi dua bagian, maka garis itu dibelokkan dengan ketentuan garis batas tanggal dibelokkan untuk memperluas daerah yang minus dalam rangka ihtiyad, sehingga seluruh wilayah Indonesia diasumsikan hilal belum wujud dan hari yang bersangkutan masih bagian Bulan lama atau Bulan berjalan.
Sejalan dengan teori pembelokan ada pendapat yang mengemuka dalam sebuah perbincangan di warung kopi. Seorang mengatakan pada kawannya, “ Dalam rangka ihtiyad sebaiknya menggunakan filosofi kereta meninggalkan stasiun. Kereta dianggap meninggalan stasiun manakala semua gerbongnya sudah lepas stasiun untuk menuju stasiun berikutnya. Bulan baru dianggap telah datang bila Bulan lama telah pergi dengan sempurna”,. Itu lebih logis sahut yang lain..
Teori pembelokan garis Bulan maupun kereta meninggalkan stasiun patut dipertimbangkan oleh MTT PP Muh. Oke, Indonesia sudah memasuki Bulan baru jika seluruh wilayah Indonesia hilal sudah wujud atau jika masih ragu setidak tidaknya dipatok 90 % dari wilayah Indonesia hilal sudah wujud dengan pengertian piringan bawah Bulan belum tenggelam ketika Matahari tenggelam.
Insya Allah jika MTT PP Muh. menggunakan teori pembelokan garis tanggal dan filosofi kereta meninggalkan stasiun akan memperoleh beberapa maslahah:
1. Tidak mengubah kriteria lahirnya Bulan baru dalam hisab hakiki wujudul hilal yang telah dipedomani Muh. sudah sejak lama. Namun perlu diketahui bahwa dalam perjalanan waktu hisab ini juga mengalami penyempurnaan sesuai perkembangan iptek, antara lain dalam metode perhitungannya. Zaman Kiyai Wardan Diponingrat, sebagaimana disebutkannya dalam bukunya Hisab Urfi dan Hakiki, digunakan daftar yang diambilnya sebagian dari kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisabat al-Kawakib ‘ala ar-Rashd al-Jadid dan dari Zij Aala’uddin Ibn Syathir, kemudian pada zaman Sa’doeddin Djambek digunakan nautical almanac, lalu terakhir digunakan Ephemeris Hisab Rukyat.
2. Warga dan simpatisan Muhammadiyah yang ada di wilayah Indonesia bagian Timur dalam menjalani ibadah lebih mantap karena memasuki Bulan baru hilal benar-benar sudah wujud dengan sempurna, tidak sekedar “terpaksa” mengikuti saudaranya di Jogja.
3. Untuk Idul Adha kemungkin bersama dengan Saudi tetap berpeluang besar karena kriteria hisab wujudul hilal Muhammadiyah nyaris sama dengan kalender Ummul Quro yang digunanan Kerajaan Saudi Arabia.
4. Kemungkinan berbeda dengan pemerintah RI akan semakin berkurang sehingga tingkat kenyamanan warga Muh dalam menjalankan ritual puasa dan idain semakin meningkat. Kebersamaan, kekompakan dan ukhuwah umat Islam di Indonesia semakin kuat.
Pertimbangan hitungan tiap titik
BalasHapus