KEBEBASAN BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Salah satu prinsip utama dan fundamental dalam
ajaran Islam adalah memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap umat
manusia untuk memilih atau menolak suatu agama tertentu, berdasarkan
keyakinannya. Seseorang dipersilakan menjadi seorang Muslim yang bersyukur,
tunduk dan patuh akan ketentuan Allah SWT atau menjadi seorang yang kufur,
menolak dan menentang ajaran-Nya. Hal ini sebagaimana secara tegas
dinyatakan dalam QS al-Insân [76]: 3
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا
شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan
yang lurus, ada yang bersyukur, ada pula yang kafir.
Bahkan ketika Rasulullah SAW
memiliki keinginan kuat agar setiap orang beriman kepada Allah SWT, menjadi
Muslim yang baik, dan bila perlu dengan pemaksaan dan tekanan, maka Allah SWT
langsung mengingatkannya, dengan firman-Nya dalam QS Yûnus [10]: 99-100,
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لآمَنَ مَنْ فِي
الأرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا
مُؤْمِنِينَ(99) وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ
أَنْ تُؤْمِنَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَجْعلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا
يَعْقِلُونَ(100)
“Dan Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka
apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin
Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak
mempergunakan akalnya.”
Juga firman-Nya dalam QS al-Baqarah
[2]: 256,
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ
الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari
jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang
amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya
menguasai kembali kota Makkah (Fath Makkah) setelah berhijrah ke kota Madinah
selama kurang lebih sembilan tahun, dan pada saat itu kaum musyrikin Makkah
sudah tidak memiliki kekuatan apa pun untuk melawannya (padahal dahulunya
ketika mereka berkuasa, sangat kejam terhadap Rasulullah dan para sahabatnya),
beliau tetap memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada mereka untuk tetap
menjadi kafir atau menjadi Muslim. Beliau bersabda: Kalian bebas merdeka di
muka bumi ini, tidak ada kedengkian dan hasud di antara kita.
.Tetapi apa yang terjadi? Ternyata dengan
kebesaran jiwa beliau tersebut yang merupakan refleksi dan manifestasi dari
ketinggian ajaran Islam, mereka semuanya secara sadar dan sukarela mengucapkan
dua kalimat syahadat dan menerima Islam sebagai agamanya. Hal ini sebagaimana
dinyatakan dalam QS an-Nashr [110]: 1-3,
إِذَا جَاءَ
نَصْرُ اللهوَالْفَتْحُ(1)وَرَأَيْتَ النّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللهِ
أَفْوَاجًا(2)فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ
تَوَّابًا(3)
“Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk
agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhan-Mu
dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat”.
Kebebasan dan kemerdekaan yang seluas-luasnya ini
agar pilihan-pilihan agama dan keyakinan tersebut menghasilkan suatu tanggung
jawab yang kuat. Setiap orang didorong untuk melaksanakan ajaran agamanya
dengan murni dan konsekuen, tanpa mencampuradukkan satu agama dengan agama yang
lain atau satu keyakinan dengan keyakinan yang lain.
Ketika seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat
dan menjadi Muslim, maka ia memiliki kewajiban untuk merealisasikan
keislamannya dalam kehidupan kesehariannya, baik ketika berhubungan secara
vertikal dengan Allah SWT maupun secara horizontal dengan sesama manusia,
bahkan juga dengan alam semesta.
Ketika sekelompok kaum Muslimin di zaman Abu Bakar
secara sadar dan sengaja tidak mau mengeluarkan zakat, Abu Bakar sebagai
khalifah pertama ketika itu, langsung berkata :Demi Allah, saya akan memerangi
orang yang memisahkan kewajiban salat dengan kewajiban zakat.
Ketegasan ini sangat diperlukan agar orang-orang
tidak mempermainkan pelaksanaan ajaran agama berdasarkan hawa nafsunya sendiri,
tanpa bimbingan wahyu Allah. Sebab hakikat keislaman dan keimanan seseorang
bukan semata-mata ditentukan oleh pengakuannya saja, akan tetapi oleh
keikhlasannya dalam menerima dan mengamalkan ajaran-Nya. Hal ini sebagaimana
dinyatakan dalam QS an-Nûr [24]: 51-52,
إِنَّمَا كَانَ
قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ(51) وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ الله
وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ(52)
“Sesungguhnya
jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya
agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan kami mendengar
dan kami patuh (sami’nâ wa atha’nâ). Dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan
kebahagaan. Dan barang-siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut
kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang
mendapat kemenangan.”
Sami’nâ wa atha’nâ bukanlah berarti menutup pintu
ijtihad atau kreativitas karena Islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk
selalu berpikir menggunakan akal seoptimal mungkin, tetapi dalam kaitan
peningkatan keimanan dan penguasaan ilmu serta teknologi untuk kesejahteraan
umat manusia, sebagai realisasi dari fungsi kekhalifahannya.
Sejarah telah mencatat dengan tinta emas, betapa
banyak mujtahid dan pemikir Islam yang menghasilkan karya-karya inovatif dan
kreatif yang sangat monumental dalam peradaban umat manusia, yang masih
dirasakan relevan sampai saat ini, padahal usianya sudah berabad-abad yang
lalu.
Yang dilarang sesungguhnya adalah wilayah-wilayah
yang bersifat pasti dan tetap yang setiap Muslim tidak boleh berbeda satu
dengan yang lainnya. Sebagai contoh, kewajiban shalat lima waktu dengan jumlah
17 rakaat, kewajiban ibadah haji pada waktu dan bulan tertentu bagi yang mampu,
Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, kebenaran al-Quran yang bersifat
mutlak dan absolut, adalah hal yang pasti dan tetap. Setiap muslim wajib
memiliki keyakinan yang sama.
Sehingga apabila ada kelompok, organisasi atau
golongan yang mengaku sebagai Muslim, namun secara sadar dan sengaja memiliki
keyakinan yang berbeda dalam masalah-masalah pokok dan pasti tersebut, maka
sesungguhnya kelompok atau organisasi tersebut adalah sesat dan menyesatkan.
Sebab tidak boleh atas nama
kebebasan beragama, seseorang atau kelompok orang dan organisasi, dengan
seenaknya berpendapat atau berkeyakinan yang justru bertentangan secara
diametral dengan ajaran pokok dari agama Islam yang akan menghancurkan tatanan
bangunannya.
Semoga umat Islam Indonesia
terhindar dari pemahaman dan pemikiran yang merusak tersebut, sehingga bangunan
fundamental Islam akan tetap utuh dan kesatuan umat akan tetap terjaga dan
terpelihara.
Wallâhu a’lamu bi ash-shawâb.
Posting Komentar untuk "KEBEBASAN BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM"