Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA

 

 

A. Pendahuluan

Kita sudah mafhum bahwa negara Indonesia bukan negara Islam دولة الاسلامية, tapi sering disebut negara Pancasila yang berbentuk Republik  Kesatuan,  akrab dengan sebutan NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia)[1].  Mayoritas penduduknya beragama Islam, menurut data Dirjen Dukcapil Kemendagri pada tahun 2024 jumlah penduduk Indonesia adalah 282.477.584 jiwa sebesar 87.08% atau 245.981462 beragama Islam, merupakan negara berpenduduk muslim terbesar nomor 2 di dunia setelah Pakistan.

Kendati bukan negara Islam, namun sebagian besar syariat Islam telah berlaku di Indonesia, baik tanpa campur tangan kekuasaan negara maupun dengan campur tangan kekuasaan  negara melalui proses legislasi oleh pembentuk undang-undang, maupun yurisprodensi oleh lembaga peradilan.

Para ulama dan cendekiawan muslim terbelah menjadi dua terkait dengan bentuk negara, dengan argumentasinya masing-masing.

  1. Bahwa umat Islam harus berjuang membentuk Negara Islam agar Syariat Islam dapat berlaku secara utuh/kaffah.  Al Qur’an dan As Sunah dengan tegas memerintahkan Umat Islam menegakkan syariat Islam/hukum Islam dan taat pada ulil amri, meskipun tidak ada perintah mendirikan negara Islam.
  2. Bahwa bentuk negara atau nama negara tidak harus negara Islam, boleh negara kebangsaan, kerajaan dsb yang penting nilai-nilai atau norma-norma syarita/hukum Islam mewarnai peraturan perundang undangan dan telah dijalankan oleh umat Islam. Negara Madinah bukan negara Islam, tapi negara kesepakatan berdasarkan  Piagam Madinah.

Terlepas perdebatan soal bentuk negara, apakah negara Islam, khilafah atau negara kebangsaan yang menjadi pokok bahasan pada kajian kali ini, apakah benar sebagian besar syariat Islam telah berlaku di negara kita.

B.  Penerapan Syariat Islam di Indonesia

Sebelum Indonesia merdeka bahkan sebelum Kolonial Belanda, telah eksis Kesultatan Islam di Indonesia yang pada umumnya memberlakukan syariat Islam, meskipun penerapannya berbeda-beda  di tiap daerah dan kerajaan  menurut situasi dan kondisi pemimpin dan rakyat di masing-masing wilayah.

Beberapa kerajaan atau kesultanan Islam yang menerapkan syariat/hukum Islam antara lain: Kesultanan  Samudera Pasai, Ternate, Tidore, Gowa, Aceh, Demak, Mataram Islam, Cirebon, Banten dsb yang hampir seluruhnya memiliki peradilan yang mengadili perkara perdata maupun pidana.

Perkembangan hukum Islam pada masa penjajahan Belanda mengalami degradasi karena adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya dengan hukum adat. Politik hukum Belanda terhadap penerapan hukum Islam mengalami pasang surut, seiring teori yang diberlakukan. Ada tiga macam teori, yaitu: receptio in complexu, teori receptie dan teori receptie a contrario

Teori receptio in complexu oleh Prof. Mr. Lodewijk Wilem Christian van den Berg, pakar hukum asal Belanda, menyatakan bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Sehingga berdasarkan pada teori ini, maka Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan peradilan Agama yang di peruntukkan bagi  warga masyarakat yang memeluk agama Islam. Teori ini kemudian di tentang oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai pencipta teori baru yaitu teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan selama tidak bertentangan atau menyatu dengan hukum adat. Teori receptio a contrario. Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum agama, sehingga hukum adat hanya berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum agama

Upaya sistemik yang kemudian di tempuh oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai realisasi teori receptie ini ialah dengan berusaha melumpuhkan dan menghambat pelaksanaan hukum Islam dengan cara mengeluarkan hudud dan qishash dalam bidang hukum pidana dan mempersempit berlakunya hukum muamalah yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan.

Pelemahan hukum Islam dan lembaga peradilan secara sistematis dapat dilihat dari kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda, dimana kewenangan menyelesaikan sengketa waris merupakan kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan Madura yang telah ada sejak zaman Kesultanan Islam. Oleh pemerintah Hindia Belanda kemudian direduksi dengan dikeluarkannya Staatsblad 1937 No. 116 yang merevisi Staatsblad Nomor: 152 tahun 1882.  Pasal 2 huruf a menyebutkan bahwa Peradilan  Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara berkenaan dengan nikah, talak, rujuk dan perceraian dan mempersaksikan bahwa syarat taklik sudah berlaku.

 Ketentuan ini menuai protes dari kalangan tokoh Muslim, karena telah melemahkan status dari lembaga Peradilan Agama dengan meniadakan kewenangan bidang kewarisan. Setelah dilakukan protes oleh tokoh Islam pemerintah Hindia Belanda tidak mencabut Staatsblad tersebut, tetapi mengeluarkan Staatsblad  1937 No. 610, yaitu membentuk Mahkamah Islam Tinggi dan juga membentuk Peradilan Agama di luar Jawa dengan sebutan Kerapatan Qadi untuk tingkat pertama dan Kerapatan Qodi Besar untuk tingkat banding. Kerapatan Qodi dibentuk  di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yaitu Banjarmasin, Martapura, Kandangan, Barabai, Amuntai dan Tanjung.

Setelah kewenangan penyelesaian hukum waris, wakaf, harta bersama berakhir dengan lahirnya Staatsblad tahun 1937 Nomor 116, kemudian  kewenangan ini muncul kembali setelah Indonesia merdeka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 45 Tahun 1957. Menurut Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan sengketa nikah, talak, rujuk, fasakh, nafakah, maskawin (mahar), tempat kediaman (maskan), mut’ah dan sebagainya, hadlanah, perkara waris malwaris, wakaf, hibah, sadaqah, baitul mal dan lain-lain.

Peraturan pemerintah ini merupakan payung hukum pembentukan Pengadilan Agama di luar  Jawa dan Madura yang sekaligus menentukan kewenangan absolutnya. Dengan lahirnya  peraturan pemerintah  ini muncul  dualisme antara pengadilan Agama di Jawa dan Madura yang tidak mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa waris dengan Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura yang berwenang menyelesaikan sengketa waris. Perbedaan ini menimbulkan yurisdiksi yang berbeda pula, sengketa waris orang-orang Muslim yang terdapat di luar Jawa dan Madura di selesaikan di Pengadilan Agama, sementara itu di Jawa dan Madura masih tetap diselesaikan di peradilan umum dengan mempergunakan hukum adat.

Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Pengadilan Agama di seluruh Indonesia meraih kewenangannya kembali untuk menyelesaikan sengketa waris seperti yang pernah ada antara tahun 1882-1937. Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mempunyai kewenangan dalam perkara perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta wakaf dan shadaqah.

Seiring perjalan waktu Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang perubahan pertama UndangUndang No.7 tentang Peradilan Agama. Perubahan ini memperluas kekuasaan Peradilan Agama, yang  meliputi: 

  1.  Dibentuknya peradilan khusus dilingkungan Peradilan Agama;
  2.  Diperluasnya kewenangan mengadili sengketa ekonomi syariah;
  3.  Diperluasnya kewenangan mengadili sengketa hak milik yang subyek hukumnya orang Islam (transaksi pertama dalam perkara waris)
  4.  Dihapuskannya hak opsi (perkara waris berdasarkan agama pewaris)

Menyesuaikan dengan perkembangan hukum atau kebutuhan hukum nasional, Undang-Undnng No. 7 Tahun 1989 diubah yang kedua dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Undang-Undang No.7 Tahun 1989. Pokok perubahan yang urgen adalah masuknya lembaga Komisi Yudisial dan Peradilan Khusus di Aceh/Mahkamah Syr’yah, berdasarkan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat: Pasal 3 ayat 2: Jarimah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Khamar; b. Maisir; c. khalwat; d. Ikhtilath; e. Zina; f. Pelecehan seksual; g. Pemerkosaan; h. Qadzaf; i. Liwath; dan j. Musahaqah;.

Indoneia juga telah memiliki undang-undang mengenai zakat,  wakaf dan perbankan syariah, yakni: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Dari uraian tersebut, dapat ketahui bahwa hukum Islam yang telah menjadi hukum positif/hukum negara sesuai ketentuan Pasal 49 UU NO. 07/1989 diubah pertama dg UU  N0. 03/2006 dan kedua dengan UU No.50/2009, berbunyi, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a.    perkawinan, b. waris, c. wasiat, d. hibah, e.           wakaf;   f. zakat,   g. infaq,  h. shadaqah,  dan i. ekonomi syari'ah.

Bidang perkawinan terdiri dari:1. izin beristri lebih dari seorang, 2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3. dispensasi kawin; 4. pencegahan perkawinan; 5.  penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;  6.  pembatalan perkawinan; 7.  gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri; 8.  perceraian karena talak;  9.  gugatan perceraian; 10. penyelesaian harta bersama; 11. mengenai penguasaan anak‑anak; 12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya; 13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri. 14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak; 15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. pencabutan kekuasaan wali; 17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;     18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas)   tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya; 20. penetapan asal usul seorang anak dan pengangkatan anak menurut hkm Islam. 21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; 22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang‑undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Perkara ekonomi syariah meliputi : a. bank syari'ah; b. lembaga keuangan mikro syari'ah. c. asuransi syari'ah; d. reasuransi syari'ah; e. reksa dana syari'ah; f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; g. sekuritas syari'ah; h. pembiayaan syari'ah; i. pegadaian syari'ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. bisnis syari'ah.

Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.

Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat  kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.

Zakat, Infaq dan Shadaqah: yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.  Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum  secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.

Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fikih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat, sebagai berikut:

1.   Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fikih Ibadah.

2.   Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan fikih Al ahwal As sakhsiyah.

3.   Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut fikih mu’amalah.

4.   Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan fikih siasah syar’iah.

5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai fikih Al ‘ukubat.

6.  Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan fikih as Siyar.

7.   Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak

Dengan demikian, jika kita komparasi antara syari’at/hukum Islam dalam kitab fikih dan hukum Islam yang berlaku diterapkan di Indonesia yang paling utama adalah pidana/jarimah pembunuhan dengan hukum qisas, perzinaan dengan rajam dan pencurian dengan potong tangan. Walhasil hamper semua hukum Islam berlaku di Indenesia meskipun Indonesia buka negara Islam/daulah islamiyah. Wallahu ‘alam bi shawab.



[1] Pada tanggal 3 April 1950, Natsir mengajukan Mosi Integral Natsir yang bertujuan untuk memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam NKRI yang sebelumnya berbentuk serikat.

Posting Komentar untuk "PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA"